Oktober 14, 2019

[Resensi] The Chronicle of a 35-Year-Old Woman - kincirmainan


Judul: The Chronicle of 35- Year-Old Woman
Penulis: kincirmainan
Penyunting: Yuke Ratna Permatasari
Penerbit: Penerbit Bhuana Sastra
Terbit: 2017
Tebal buku: 244 hlm.
ISBN: 9786023948512

Perjalanan cinta di ujung penantian.

Kikan, 35 tahun, seorang wanita karir yang molek dengan karakter work hard, play hard. Kikan masih melajang karena jera dengan hubungan asmaranya yang sudah-sudah, dan Andre "Si Blasteran Siluman Anjing Pemburu" adalah penyebabnya.

Bertahun-tahun Kikan tidak kunjung menemukan lelaki yang bisa memantapkannya. Sampai tiba-tiba juniornya di kantor nekat melamar. Dialah Pras, lelaki introver yang usianya delapan tahun lebih muda darinya. Tapi, bersama dengan Pras belum meyakinkannya seratus persen. Ditambah urusan dengan mantannya yang belum tuntas.

Kikan akhirnya harus memilih, mengakhiri penantiannya atau...

*****

Sinopsis di belakang novel ini sudah menggambarkan garis besar ceritanya. Kikan yang sudah berusia 35 tahun dilamar oleh rekan kerjanya yaitu Prasetyo, yang justru lebih muda delapan tahun. Dia galau dengan jawaban yang akan dipilihnya. Tiba-tiba saja dia bertemu dengan mantannya delapan tahun silam, Andreas.

Kehadiran Andreas benar-benar mengusik hubungan Kikan dan Pras. Selain hubungan Andreas dan Pras yang bersaudara tiri, ada masa lalu mereka yang sampai saat ini membuat keduanya berseteru. Kikan benar-benar dibuat gila oleh Pras yang susah ditebak dan oleh Andreas yang masih menyimpan perasaan masa lalu.
Siapakah yang akan dipilih oleh Kikan antara Pras dan Andreas? Jawabannya tentu saja lebih baik baca langsung novelnya.

*****

Novel ini dilabeli sebagai fiksi/novel dewasa yang tertera di sampul belakang. Alhasil, banyak ditemukan  bagian cerita yang menjelaskan secara detail soal hubungan seksual. Selain sebagai pemanis cerita, menurut saya adegan intim tokoh di novel ini untuk menunjang penggambaran karakter yang kuat dari masing-masing tokoh. Misalkan Andreas yang jelas-jelas penjahat kelamin disebutkan mahir soal medan ranjang. Sedangkan Prasetyo disebutkan sebagai karakter pria biasa yang berkacamata tapi punya sisi liar dalam hubungan seks. Kikan sendiri diceritakan sebagai perempuan matang yang memang butuh pemenuhan hasratnya. Tak heran pada beberapa bagian dia melakukan seks, diterangkan dia begitu menikmatinya.

Adegan mesum yang lumayan banyak membuat saya harus mewanti-wanti jika novel ini hanya boleh dibaca oleh pembaca di atas 20 tahun. Kenapa bukan 18 tahun? Sebab keutuhan cerita yang dipadukan dengan adegan seks pra-nikah perlu disikapi oleh pembaca yang bijak dan berwawasan.

Pembaca yang sudah cukup usianya bisa memandang jika adegan seks di novel ini, apa pun kondisinya, hanya sebatas tekstual semata, bukan untuk ditiru mentah. Sedikit bahaya jika novel ini dibaca oleh remaja. Ketakutannya adalah mereka meniru bulat-bulat adegan seks tanpa melihat jalan cerita besarnya.

*****

Saya menilai jika novel ini bagus sebab beberapa bagian ceritanya sejalan dengan pengalaman sendiri. Sehingga beberapa pesan ceritanya bisa sampai ke saya.

Ketika Kikan melakukan kesalahan besar kepada Pras, dia galau dengan banyak mempertimbangkan apa harus atau tidak harus memulai menghubungi Pras. Lalu Gita sebagai sahabat menekankan Kikan untuk memulai menghubungi Pras sebab jika terlambat bisa saja terjadi cerita lain. Menghubungi lebih dulu sama saja bentuk memperjuangkan.

Ini sejalan dengan pengalaman saya bolak-balik antara Cirebon - Subang untuk memperjuangkan dia lagi, menjelaskan masalahnya, dan mengatakan maaf. Sampai tiga kali saya melakukannya. Walau hasilnya tetap tidak bisa diperbaiki hubungan kami, saya merasa puas sebab saya sudah maksimal menjalankan bagian saya dalam memperbaiki hubungan yang saya rusak.

Bagian lain menceritakan soal bagaimana pentingnya melepaskan masa lalu ketika sedang menjalani hubungan yang baru. Kikan harus melepaskan bayangan Andreas yang pernah menorehkan luka yang dalam. Begitu juga Pras dan Andreas harus melepaskan masa lalu yang jadi pemicu mereka berseteru tak pernah akur.

Saya pun pernah terjebak masa lalu dengan seseorang karena kami berpisah dengan tidak baik-baik. Dia yang melakukannya dengan tidak baik-baik. Sehingga selama setahun ke depannya, saya kerap diserang rasa sakit di dada setiap mengingat dia. Pada puncaknya, setahun setelah kejadian perpisahan tidak baik-baik, saya memberanikan diri menemui dia untuk mengucapkan maaf karena saya tahu masalah perpisahan itu pasti dipicu oleh kesalahan saya juga.

Setelah itu saya bisa menjalani kehidupan dengan lebih adem. Saya juga bisa membuka hati untuk beberapa nama berikutnya walau sampai sekarang belum ada yang pas di hati.

*****

Novel ini punya tiga tokoh utama yaitu Kikan, Pras, dan Andreas. Mereka dibentuk dengan karakter yang kuat. Kikan merupakan tipe perempuan matang yang pekerja keras, menomorduakan asmara, punya kegalauan sendiri soal pencapaian hidup di usia kritis, dan masih kekanak-kanakan jika menyangkut perkara cinta.

Prasetyo itu sosok pria yang kalem, punya bakat di alat musik, hemat kata-kata, dan pemikir matang. Yang saya tidak sukai dari tokoh Pras ini adalah kebiasaan dia untuk menyampaikan hal penting harus nunggu waktu yang tepat. Saya tidak mengerti alasannya kenapa dia menunda-nunda menyampaikan cerita masa lalu yang sebenarnya kepada Kikan. Baru setelah konflik meruncing, Pras buka mulut.

Lalu Andreas ini tipe penjahat kelamin, bicaranya to the point, guyonannya keterlaluan, dan menyepelekan perempuan. Karakter Andreas sangat mengganggu dan menyebalkan.
Selain ketiga tokoh yang berkarakter kuat dan berwarna, novel ini tambah menarik oleh beberapa faktor lain: jalan ceritanya yang lincah dan kovernya menarik.

Jalan cerita novel ini dibangun dengan alur maju dan mundur. Alur maju dipakai penulis untuk memberikan progres konflik yang dialami si tokoh. Sedangkan alur mundur menjadi pembukaan tabir dari keadaan sekarang, yah semacam membuka alasan kenapa si tokoh begini dan begitu.

Penceritaan pun dilakukan oleh ketiga tokoh. Walau porsi Kikan lebih banyak dibandingkan bagian Pras atau Andreas. Teknik ini menyeimbangkan penilaian pembaca terhadap ketiga tokoh agar tidak dihakimi secara sepihak.

Sampul merah gelap dipadukan dengan Stiletto tampak tidak mengganggu mata. Justru menampilkan kesan dewasa. Pas banget dengan tokoh yang ada di dalamnya beserta konflik yang diurai menjalin alur cerita.

*****

Apakah novel ini menyuguhkan kisah roman saja?

Tidak. Sebab ada juga bagian cerita yang mengulas hubungan anak dan orang tua. Dipresentasikan oleh Andreas dan Pras kepada sosok Bunda. Sosok Bunda juga merupakan tokoh samping yang menarik. Cara pandang beliau kepada perseteruan kedua anaknya sangat elegan. Ia tidak memaksa agar keduanya akur. Tapi Bunda tahu kapan turun tangan untuk menengahi kedua anaknya.

Bagian lain mengulas soal hubungan persahabatan. Contohnya antara Gita dan Kikan. Kikan kerap menghabiskan waktu di rumah Gita. Merecoki Gita dengan keluhannya. Kadang Kikan malah ikut mengasuh anak Gita. Sampai menjelang konflik cerita berakhir, Gita punya peranan penting sebagai sahabat Kikan agar Kikan tidak semena-mena memutuskan sesuatu yang keliru. Fungsi sahabat demikian bukan? Mengingatkan sahabat ketika dia salah jalan.

*****

Akhirnya novel ini selesai dibaca dan saya pun merekomendasikan novel ini untuk pembaca dewasa yang ingin mendapatkan cerita rada panas dan memberikan pencerahan dari konflik yang disajikan.

Oktober 11, 2019

[Resensi] Table for Two - Dy Lunaly


Judul: Table for Two
Penulis: Dy Lunaly
Penyunting: Pratiwi Utami
Penerbit: Bentang Belia
Terbit: Cetakan pertama, Desember 2016
Tebal: iv + 260 hlm.
ISBN: 9786021383636

"Aku pernah janji untuk selalu ngelindungin kamu. Itu alasan kenapa aku nggak bisa berhenti bertinju, sekalipun kamu minta aku untuk berhenti. Aku cuma bisa ngelindungin kamu kalau aku kuat." (Hal. 112)

*****

Novel Table for Two ini merupakan bagian dari novel series Olahraga yang digagas penerbit Bentang Belia. Masih ada empat judul lainnya: Let's Break Up karya Anjani Fitriana, Other Half of Me karya Elsa Puspita, My Favorite Distruction karya Naala, dan Happiness is You karya Clara Canceriana.

Untuk Table for Two ini, olahraga yang menjadi tema utama adalah tinju. Membawa kisah Asha yang harus menjadi pendamping diet untuk sahabat masa kecilnya yang seorang petinju. Konflik muncul karena Asha dan Arga pernah berantem tujuh tahun lalu perkara soal Arga yang keukeuh menjalani cita-cita menjadi petinju profesional. Asha meminta Arga berhenti karena cerita menyedihkan meninggalnya sang papa sewaktu tanding tinju di Amerika.

Alur cerita dalam novel ini memang mengejutkan. Latar belakang kenapa Asha berantem dengan Arga, alasan Arga ketus kepada Asha, dan alasan Arga memilih jadi petinju, dibeberkan perlahan-lahan. Sehingga teknik menulis begini membuat saya penasaran dan terus membaca karena keseruan yang ditimbulkannya.

Saya bukan penyuka olahraga tinju jadi tidak terlalu tahu seluk-beluknya. Di sini pun saya mendapati kalau penulis tidak mendalami emosi orang-orang yang memilih penjadi petinju. Sekedar teknik dasar memang diselipkan, tapi kedalaman profesinya tidak sampai kepada saya selaku pembaca. Termasuk profesi mamanya Asha sebagai ahli gizi, tidak tereksplorasi secara mendalam. Menu diet yang disebutkan sekadar nama saja tanpa ada penjelasan lebih rinci tentang manfaat, takaran dan kombinasi menu atau bahan-bahannya.

Kesimpulan profesi yang saya tangkap berupa: untuk kelas dalam tinju ditentukan oleh berat badan makanya dibutuhkan diet untuk mencapai berat badan sesuai kelas. Istilah tinju paling sering disebut dalam novel ini adalah Sparring. Alat tinju yang disebutkan antara lain sarung tinju dan samsak. Sedangkan untuk dunia pergizian hanya informasi berupa penting sekali mengetahui kadar makanan yang kita makan baik berupa jumlah kalori atau ketersediaan unsur karbohidrat, protein dan sebagainya.

Dominasi hal lain yang ditulis penulis adalah mengenai rasa dan proses menerima kehilangan. Asha, mama, dan Om Bima menjadi orang-orang yang terbelenggu atas meninggalnya papanya Asha. Ketiga orang tadi memiliki alasan masing-masing memendam penyesalan atas kejadian itu. Namun penulis membawa cerita kehilangan ini menuju proses menerima kenyataan dengan cara yang bijaksana. Sebab ketiga pihak tadi tidak menjadikan penyesalan sebagai sesuatu yang menghalangi kehidupan ke depannya. Walaupun kesedihan kerap menimpa mereka dalam kondisi-kondisi tertentu terutama ketika mengingat hal-hal yang berkaitan dengan papanya Asha.

Unsur roman yang diracik penulis juga menarik. Terutama mengenai hati Asha akan berlabuh kemana, antara Arga atau Rama. Rama ini adalah pekerja di klinik mamanya Asha, yang perhatiannya melebihi sosok kakak. Penulis mengakhiri kebimbangan Asha dengan cukup baik. Asha memilih orang yang tepat setelah hatinya dilanda kebimbangan. Alasan kenapa Asha memilih pilihannya sangat saya terima. Kalau mau tau siapa yang dipilih Asha, langsung baca aja novelnya, hehe.

Beberapa hal dalam novel ini juga menjadi sorotan saya. Terutama karakter Arga yang temperamental, ketus, pendiam, suram, mendadak berubah ketika di bab menjelang akhir buku. Perubahannya terlalu cepat padahal Arga dan Asha habis bertengkar hebat. Apalagi di pertengkaran itu Arga menghina orang-orang yang Asha sayangi. Kalau saya di posisi Asha, bakal berat banget untuk memaafkan ucapan Arga yang mengandung hinaan, merendahkan dan tuduhan.

Penyelesaian konflik novel ini pun terasa terburu-buru. Ini lagi lagi berkaitan dengan mudahnya Arga dan Asha berdamai padahal konflik mereka terbilang runcing. Sehingga menjelang akhir buku, saya merasa kurang bisa menikmati alur cerita demi menutup kisah Arga dan Asha. Terutama adegan Asha yang berbincang dengan Arga setelah Arga siuman pasca pingsan. Mereka bisa bercanda sedemikan rupa padahal sebelumnya mereka berseteru hebat. Aneh saja buat logika saya.

Sebagai penutup, terlepas dari kekurangan (menurut saya) di atas, novel Table for Two ini nyaman dibaca. Kita akan disuguhi pelajaran bagaimana berdamai dengan masa lalu, dan bukan menjadikan masa lalu sebagai ganjalan untuk masa depan.

*****

Ternyata kenangan bahagia, tidak peduli selama apa pun tersimpan, selalu menghadirkan getar kerinduan ketika mengingatnya. (Hal. 7)

Ternyata benar, kenangan tidak tersimpan dalam ingatan atau hati. Tetapi, pada benda atau tempat kenangan itu terjadi. (Hal. 64)

...kuat itu bukan yang bisa mengalahkan lawan, melainkan seseorang yang bisa dihormati dan dihargai karena berhasil mengalahkan keinginan untuk balas dendam. (Hal. 143)

Agustus 31, 2019

[Resensi] Seumpama Matahari - Arafat Nur


Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Editor: Yetti A. KA
Penerbit: DIVA Press
Terbit: Cetakan pertama, Mei 2017
Tebal buku: 144 hlm.
ISBN: 9786023914159

"Cinta Seumpama matahari, ia tidak pernah mengharapkan cahaya dari bumi. Tapi, ia selalu memberikan cahaya bagi bumi. Biarpun bumi tidak merasakan cahayanya. (Hal. 92)

*****

Novel Seumpama Matahari terbilang tidak tebal. Dan ukuran ini cukup untuk memancing daya baca saya yang sedang merosot. Ampuh memang hasilnya. Novel ini bisa saya selesaikan sekali duduk saja.

Buku berkover kuning ini menceritakan perjalanan seorang Asrul, pemuda Aceh, yang terlibat sebagai gerilyawan dalam operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sampai dia memutuskan untuk keluar dari GAM demi menjadi warga yang normal.

Saya sedikit terusik ketika tahu jika tokoh dalam buku ini mengambil sudut pandang pemberontak. Dalih-dalih mereka memerangi tentara demi merdeka sangat bertentangan dengan pikiran saya yang masih mencintai tanah air dengan segala permasalahannya. Tetapi penulis berhasil memberikan jawaban untuk pertanyaan kenapa tokoh utamanya harus seorang gerilyawan.

Seorang Arafat Nur seperti ingin memberikan informasi kalau beberapa anggota gerilyawan sebenarnya tidak melulu memiliki ambisi memberontak. Asrul misalnya, dia ini memang punya dendam kepada tentara atas terbunuhnya Ayahnya yang ditembaki tentara sebagai pelampiasan karena gagal menangkap pemberontak. Karena ajakan kawannya dan hasutan peristiwa pembunuhan itu, Asrul akhirnya masuk ke pelatihan demi menjadi anggota gerilyawan.

Berjalannya cerita, Asrul akhirnya tiba di satu titik lelah dengan ambisi perangnya terhadap tentara. Dia menimbang perasaan ibunya, adiknya, bahkan calon istrinya. Muncullah kehendak hati untuk menjadi warga biasa saja yang menjalani kehidupan normal tanpa harus merasa dikejar untuk ditangkap tentara.

Hal menarik yang saya temukan dari membaca buku ini salah satunya adalah sejarah GAM itu sendiri. Penulis membuka selapis demi selapis mengenai GAM. Kapan GAM mulai kambuh. Apa latar belakang GAM muncul. Bahkan bagaimana senjata bisa dimiliki oleh GAM. Akhirnya setelah selesai membaca buku ini, saya paham eksistensi GAM yang dipicu oleh pemerintah yang tidak adil dalam membangun daerah di Aceh (sesuai novelnya).

Biarpun buku ini menceritakan bagian sejarah Indonesia, bobotnya tidak terlalu berat seperti buku teks di sekolahan. Mungkin karena penulis memasukkan unsur roman antara Asrul dan perempuan berambut hitam yang wangi. Justru roman ini paling melekat di benak saya begitu cerita ditamatkan.

Sepanjang mengikuti kisah roman Asrul, pikiran saya ikut liar berandai-andai. Jujur saja, saya sempat membayangkan si Asrul ini akan melakukan hal senonoh dengan perempuan yang ia sukai. Sebabnya, Asrul ini muda dan jiwanya masih meletup-letup. Kisah awal ketika dia bertemu dengan gadis itu, ada aura nakal yang muncul. Bahkan ketika Asrul serumah dengan perempuan itu, narasi mengesankan kalau Asrul hanya pemuda biasa yang punya birahi juga. Sayangnya latar Aceh menyelamatkan cerita jatuh ke kosnep liar yang saya bayangkan tadi. Tahu sendiri, Aceh sangat menjunjung tinggi nilai keislaman, bahkan itu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan di dalam novel ini menyinggung pandangan soal pacaran di kalangan warga Aceh yang dianggap sebagai perilaku yang tak pantas. Kalau sampai ketahuan warga sedang berduaan di tempat sepi, bisa diarak dan disidang. Cukup bikin menelan ludah bukan jika dikaitkan dengan kondisi saat ini?

Alasan saya akhirnya lancar jaya menamatkan buku ini, karena ditopang juga oleh diksi yang digunakan penulis. Arafat Nur yang beberapa kali mendapat apresiasi karyanya, tampaknya lebih nyaman menggunakan bahasa baku ketimbang bahasa gaul dalam buku ini. Bisa jadi pengaruh latar di Aceh dan bukan di Jakarta, sehingga bahasa yang dipakai adalah bahasa santun yang memang dipergunakan di sana.

Ternyata tetap saja ada yang kurang terhubung antara saya dan buku Seumpama Matahari ini. Terutama mengenai penokohan Asrul dan karakter-karakter lainnya. Saya kesulitan membayangkan fisik dan sifat Asrul ini. Tidak ada penjelasan spesifik Asrul ini mukanya seperti apa, kecuali rambutnya yang panjang. Sifatnya pun masih bias, dia ini seperti apa. Pekerja keras bukan. Pemberani sekali juga bukan walau tersebut sebagai gerilyawan. Humoris juga tidak. Dewasa dan bijak juga tidak ada narasi yang kesana. Saya tidak menemukan karakter menonjol dari Asrul yang bisa mengesankan saya, syukur-syukur bisa diteladani.

Melihat kekurangan (menurut saya) tadi itu, saya jadi ingin membaca buku Arafat Nur lainnya. Terlebih ingin membandingkan cara beliau bercerita dan bermain diksi. Apakah lebih memikat dari yang ini atau justru sama saja karena itu ciri beliau?

Sebagai penutup, novel ini enak, nyaman, dan sangat bagus dibaca karena muatan sejarahnya yang bisa menambah wawasan pembaca soal salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi di tanah Aceh, yaitu Gerakan Aceh Merdeka.

Catatan: Nggak ada penanda buku/bookmark

*****

Padukanlah pikiran dan perasaanmu, niscaya kau mampu mengendalikan dunia ini. (Hal. 24)

"Nak, berusaha untuk mati itu lebih cepat berhasil daripada kau berusaha untuk terus hidup." (Hal. 55)

Kebahagiaan selalu saja diakhiri perpisahan. Sebagaimana kehidupan yang dipisahkan kematian. (Hal. 58)

Sejujur-jujurnya manusia tetap pernah berbohong. (Hal. 109)

Agustus 27, 2019

Curhat Saya Soal Menulis


[Intermeso] Akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis uneg-uneg yang kelamaan diperam di dada soal menulis resensi. Aslinya saya sangat terbebani ketika harus menulis resensi buku yang selesai saya baca, harus bagus. Harus pakai aturan resensi yang ini itu, harus pakai kalimat efektif, harus memiliki nyawa, bahkan harus kerasa ilmiah. Persetan dengan itu semua sebab saya masih belajar menulis.

Pernah kapan waktu saya mau ikutan lomba resensi dan berujung nggak jadi ikut karena stres begitu harus membuat resensi. Sudah bacaan saya terbilang sastra berat, ditambah saya harus membuat resensi super menarik, super cerdas, supaya bisa jadi juara. Sayang seribu sayang, saya kalah sebelum perang. Saya mentok nggak bisa mikir harus menulis resensi mulai dari mana, harus bahas apaan, harus menyoroti dan mengkritisi bagian apanya dan harus menggunakan format yang bagaimana.

Efek besar dari perfeksionis ini saya jadi jarang memposting artikel resensi. Buah dari kebuntuan ketika membuat resensi yang harus memenuhi kriteria sempurna. Saya sudah membaca beberapa judul buku dan selalu berujung resensinya dihapus karena merasa jelek mulu, sampai dengan sekarang buku tadi belum bisa bersanding dengan resensinya. Akhirnya mangkrak dan terpaksa buku tadi masuk ke kategori buku yang harus dibaca ulang.

Sejak saat ini, saya memang harus sedikit berkompromi dengan proses menulis. Enggak perlu muluk-muluk harus bagus banget, yang penting bisa menyampaikan kesan setelah baca dengan versi saya yang sesungguhnya. Sedikit memberikan toleransi kepada tulisan saya supaya bisa jadi, tanpa memasang standar tinggi. Sebab standar tadi justru bisa balik membunuh kebiasaan dan latihan menulis.

Lalu apa kabar dengan belajar menulis yang baik? Saya memercayai kalau proses akan memoles kemampuan. Saya percaya pribahasa 'Alah bisa karena biasa'. Dengan banyak membaca dan menuliskan lagi, kemampuan membaca dan menulis akan terasah hingga runcing. Sambil berproses, saya akan memperbaiki sisi-sisi yang bisa diperbaiki.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan jika akhirnya blog ini akan menjadi sangat personal menjembatani saya sebagai pembaca dengan buku yang saya baca. Kemudian resensi hanya menjadi bentuk klimaks dari hubungan saya dan buku. Ibarat pengantin baru di malam pertamanya, kedua pihak tidak perlu menuntut kesempurnaan suatu momen. Sebab masih ada banyak waktu untuk menambahkan kesan-kesan baik di malam-malam berikutnya.

Agustus 23, 2019

Daftar Wishlist Sepanjang Masa


[Wishlist] Setiap hari Jumat seharusnya saya mempublikasikan artikel berupa wishlist; buku apa yang sedang diinginkan. Saya minta maaf karena masih belum bisa mengikuti ritme publikasi yang konsisten. Alasannya karena saya masih harus membagi waktu antara membuat artikel dengan pekerjaan. Sebab saya mengerjakan kedua hal tadi di PC tempat bekerja. Saya belum punya laptop pengganti yang sudah rusak.

Kesempatan kali ini saya ingin berbagi daftar wishlist apa saja yang pernah saya buat di sepanjang saya membuat blog ini. Daftarnya adalah sebagai berikut:

1. Complicated Thing Called Love - Irene Dyah
2. Gravity - Rina Suryakusuma
3. Satu Kisah yang Tak Terucap - Guntur Alam
4. Kita dan Rindu yang Tak Terjawab - Dian Purnomo
5. Di Bawah Langit yang Sama - Helga Rif
6. Perempuan-Perempuan Tersayang - Okke ‘sepatumerah’
7. Pertanyaan Kepada Kenangan - Faisal Oddang
8. A Man Called Ove - Fredrik Backman
9. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi - Yusi Avianto Pareanom
10. Love on Probation - Christina Juzwar
11. Que Queen - Regina Alexandra
12. Mozaik - Ita Susanto
13. Juvenilia - Jane Austen
14. The Convenient Marriage - Georgette Heyer
15. One Little Thing Called Hope - Winna Efendi
16. Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain
17. Milea - Pidi Baiq
18. Roma - Pia Devina
19. To All The Boys I’ve Loved Before - Jenny Han
20. Ratu Salju - H. C. Andersen
21. Muhammad; Lelaki Penggenggam Hujan - Tasaro GK
22. Satu Mata Panah Pada Kompas yang Buta - Suarcani
23. Being Henry David - Cal Armistead
24. Cinder: The Lunar Chronicles - Marissa Meyer
25. Scarlet - Marissa Meyer
26. Rumah Kertas - Carlos Maria Dominguez
27. Slammed - Colleen Hoover
28. Silence (Hening) - Shusaku Endo
29. Conceited Heart’s Cry - Ayuko
30. Silent Wife - A. S. A. Harrison
31. Penjelajah Antariksa 1: Bencana di Planet Poa - Djokolelono
32. The Name of The Rose - Umberto Eco
33. Carve The Mark - Veronica Roth
34. Rogue Lawyer (Pengacara Bajingan) - John Grisham
35. Aftertaste - Sefryana Khairil
36. Caraval - Stephanie Garber
37. Breakable (Merepih) - Tammara Webber
38. Fathers and Sons - Ivan Turgenev
39. 24 Jam Bersama Gaspar - Sabda Armandio
40. Bilangan Fu - Ayu Utami

* Untuk judul yang link-nya hidup, artinya saya sudah punya dan membaca buku itu. Silakan untuk dibaca resensinya.

Dari 40 judul buku yang jadi wishlist, ternyata hanya 4 buku yang saya punya dan sudah dibaca. Resensinya pun sudah saya buat. Artinya baru 1% pencapaian saya memenuhi buku-buku yang saya idam-idamkan. PR banget untuk segera memenuhinya sekaligus penasaran buku apa lagi yang akan bertambah. Hehe.

Agustus 22, 2019

Daftar "Buku Akan Dibaca" update Agustus 2019


[Intermeso] Fakta kemampuan membaca buku yang tidak sebanding dengan kemampuan menimbun buku sudah bukan informasi baru bagi para blogger buku. Dapat dipastikan para blogger buku punya daftar “Buku Akan Dibaca”, entah hanya beberapa judul atau berjudul-judul.

Saya pun demikian. Di kosan masih bertumpuk buku yang belum sempat dibaca. Biasanya akibat menunda-nunda membaca tapi rajin membeli. Dan kesempatan kali ini saya mau membuat daftar buku apa saja yang masih statusnya “Buku Akan Dibaca”:

1. Pangeran Kertas by Syahmedi Dean
2. Senandika Prisma by Aditia Yudis
3. Asa Ayuni by Dyah Rinni
4. Elegi Rinaldo by Bernard Batubara
5. Lara Miya by Erlin Natawiria
6. Love Catcher by Riawani Elyta
7. Magic Perempuan dan Malam Kunang-kunang by Guntur Alam
8. Samaran by Dadang Ari Murtono
9. Para Bajingan yang Menyenangkan by Puthut EA
10. The Seven Good Years by Etgar Keret
11. Lamber Akrobat by Agus Mulyadi
12. Di Kaki Bukit Cibalak by Ahmad Tohari
13. Voice by Ghyna Amanda
14. Miss Peregrine's Home for Peculiar Children by Ransom Riggs
15. Dawai-Dawai Ajaib Frankie Presto by Mitch Alvin
16. The Travel Crates by @rudycrates
17. Aroma Karsa by Dee Lestari
18. Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat by Mark Manson
19. The Wrong Side of Right by Jenn Marie Thorne
20. Cerita Cinta Enrico by Ayu Utami
21. Hati Tak Bertangga by Adi Prayuda & Ikhwan Marzuqi
22. Jogja Jelang Senja by Desi Puspitasari
23. Pergi by Tere Liye
24. Goodbye, Thongs by Fumio Sasaki
25. Keep Calm and Be Fabulous by Amal Azwar, Caca Kartiwa, Hendri Yulius, Bintang Pradipta, El Ayn Morve, dan Kindy Marina
26. Dua Tangisan Pada Satu Malam by Puthut EA
27. Cum on Feel The Noize by Nuran Wibisono
28. Frankfurt to Jakarta by Leyla Hana & Annisah Rasbell
29. Jemput Terbawa by Pinto Anugrah
30. Waktu untuk Tidak Menikah by Amanatia Junda
31. Y by Billy Born
32. Kupu-Kupu Bersayap Gelap by Puthut EA
33. Anatomi Rasa by Ayu Utami
34. Arterio by Sangaji Munkian
35. Titik Temu by Ghyna Amanda
36. Kala Mata by Ni Made Purnama Sari

Wow! Ada 36 buku yang belum saya lahap dan tidak terbayang bakal kapan dibaca. Soalnya saya sedang mengalami penurunan minat baca. Jadi tidak begitu ngoyo banget baca buku, apalagi menargetkan. Doakan saja saya bisa segera menuntaskannya dan doakan juga supaya bisa me-rem beli buku.