Tampilkan postingan dengan label andina dwifatma. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label andina dwifatma. Tampilkan semua postingan

November 09, 2021

[Resensi] Semusim, Dan Semusim Lagi - Andina Dwifatma

gambar diunduh dari google play book, diedit

Judul: Semusim, Dan Semusim Lagi

Penulis: Andina Dwifatma

Editor: Hetih Rusli

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: April 2013

Tebal: 232 hlm.

ISBN: 9789792295108

***

Surat Kertas Hijau

Segala kedaraannya tersaji hijau muda. Melayang di lembaran surat musim bunga. Berita dari jauh. Sebelum kapal angkat sauh.

Segala kemontokan menonjol di kata-kata. Menepis dalam kelakar sonder dusta. Harum anak dara. Mengimbau dari seberang benua.

Mari, Dik, tak lama hidup ini. Semusim dan semusim lagi. Burung pun berpulangan.

Mari, Dik, kekal bisa semua ini. Peluk goreskan di tempat ini. Sebelum kapal dirapatkan.

Sitor Situmorang, 1953

Dari sebuah sajak, seorang penulis memindahkan suatu baris dan menjadikannya suatu judul, lantas melanjutkannya dengan kalimat demi kalimat, yang akhirnya terbentuk menjadi roman ini. Saya kira itulah cara yang baik untuk merayakan keberadaan kata, di tengah dunia yang lebih sering tak sadar bahwa kata itu ada, sehingga menyia-nyiakannya. Namun menulis bukanlah satu-satunya cara, karena masih ada cara lain untuk merayakannya, yakni membacanya. —Seno Gumira Ajidarma

***

Saat melihat posting-an penulis di twitter mengenai kover terbaru novel Semusim, dan Semusim Lagi, menggiring saya untuk segera membaca bukunya. Alasan lain karena saya sudah jatuh hati dengan cerita novel beliau sebelumnya yang berjudul Lebih Senyap Dari Bisikan. Tentu buku ini tidak akan saya lewatkan.

Novel Semusim, dan Semusim Lagi menceritakan seorang gadis baru lulus SMA yang bercita-cita menjadi ahli sejarah, mendapatkan surat dari ayahnya yang sakit, yang selama ini tidak dia kenal dan ingat. Dalam surat itu ayahnya meminta untuk bertemu sebelum hal buruk terjadi. Aku berangkat ke kota S untuk memenuhi permintaan ayah sekaligus ingin mengenalnya lebih jauh. Di kota S, Aku dibantu J.J. Henri  mengurus kebutuhan hidup dan dia yang akan mempertemukan Aku dengan ayahnya.

Aku juga dikenalkan dengan putra satu-satunya J.J. Henri yang bernama Muara. Kedekatan Aku dengan Muara membawa mereka pada hubungan yang bukan sekadar teman. Sampai pada satu waktu keduanya berseteru dan berakhir dengan Aku yang menusuk leher Muara sebanyak empat kali. Aku kemudian harus melupakan semua rencana awal hidupnya karena masalah yang timbul sekarang membawa Aku ke penjara dan rumah sakit jiwa.

Sebuah pengalaman seru bisa membaca novel dengan gaya penceritaan yang renyah padahal tema novel ini terbilang berat. Dunia psikologi merupakan unsur yang menonjol sekaligus yang membingungkan saya akan kejelasan alur ceritanya. Bagaimana tidak, saya dibuat bertanya-tanya sebenarnya tokoh Aku memang gila atau pura-pura gila dan kapan dia mulai menjadi gila.

Dari awal, tokoh Aku sudah digambarkan sebagai sosok yang aneh karena selalu mempertanyakan banyak hal dan harus tahu awal mula segalanya, yang itu tidak akan dilakukan oleh remaja pada umumnya. Kepribadian Aku tidak normal dan saya menyimpulkan ini buah dari hubungan dingin dengan ibunya. Tokoh Aku bisa dikatakan sosok yang kurang kasih sayang dari orang tua sehingga pikirannya berkembang tanpa bimbingan dan jadi liar.

Kemunculan Sobron, sosok ikan koi berwarna kuning yang bertingkah seperti manusia menjadi pertanda kalau tokoh Aku mulai gila. Walau interaksi tokoh Aku dan Sobron kelihatan aneh, tapi penulis berhasil mengemas adegan mereka tampak wajar saja. Malah saya jadi mempertanyakan Sobron ini ada atau nggak ada. Sempat juga menduga jangan-jangan novel ini ada unsur fantasinya.

Penggambaran Sobron si manusia ikan mengingatkan saya pada novel series Menjelajah Nusantara karya Okky Madasari terutama yang berjudul Mata dan Manusia Laut. Tokoh rekaan fantasi ala dongeng tapi menarik dan berkarakter. Lalu saya juga membandingkan novel ini dengan novel Bilangan Fu karya Ayu Utami karena keduanya berbobot mempunyai informasi yang jarang dibahas orang dan bisa menambah wawasan pembaca misalnya tentang musik, buku, dan cerita atau sejarah mengenai suatu peristiwa.

Semua tokoh yang muncul di novel ini punya sisi misteri. Tokoh Aku memang punya pribadi yang aneh. Tapi saya tidak menemukan penyebab jelasnya. Ibunya yang seorang dokter bedah pun menyimpan keanehan sebab dia jarang komunikasi dengan anaknya karena alasan yang jarang dipilih orang tua umumnya. Ayahnya pun masih belum jelas sakit apa dan sosoknya bagaimana. Semua karakter memang tidak utuh tapi sangat pas untuk mendukung ceritanya yang penuh misteri.

Usai membaca novel ini saya menyimpulkan jika hubungan keluarga yang baik akan memberikan efek mental yang baik bagi anggotanya. Setiap yang rusak akan tetap ada cacatnya meski diusahakan agar tidak kelihatan. Dan komunikasi itu penting dalam banyak hal untuk mendeteksi masalah sedini mungkin sehingga bisa dicegah jadi masalah besar.

Untuk novel Semusim, dan Semusim Lagi saya memberikan nilai 5 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

November 01, 2021

[Resensi] Lebih Senyap Dari Bisikan - Andina Dwifatma

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Lebih Senyap Dari Bisikan

Penulis: Andina Dwifatma

Editor: Teguh Afandi

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Juni 2021, cetakan pertama

Tebal: viii + 155 hlm.

ISBN: 9786020654201

***

Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.

Amara dan Baron dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak. Aneka usaha untuk hamil nyatanya telah mereka lakukan, dari yang normal hingga ekstrem. Namun, persoalan tidak selesai tatkala Amara hamil dan melahirkan. Ada yang tidak ditulis di buku panduan menjadi orangtua, ada yang tidak pernah disampaikan di utas Program Hamil.

Lebih Senyap dari Bisikan merupakan novel kedua Andina Dwifatma, setelah Semusim, dan Semusim Lagi (2013)—pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Novel ini membuka mata pembaca dengan kisah Amara dan pahit manis kehidupan perempuan dalam menemukan apa yang berharga.

***

Delapan tahun menikah dan belum punya anak membuat pasangan Amara dan Baron hampir putus asa. Segala cara sudah dilakukan tapi belum kunjung membuahkan hasil. Tetapi perjuangan keras dan panjang mereka akhirnya berujung indah. Amara bisa memiliki anak. Apakah ini tujuan akhirnya? Bukan, masalah datang lagi ketika anak sudah lahir, yaitu mengurus anak, yang ternyata membuat keharmonisan pasangan ini diuji untuk saling membantu dan memahami.

Ketika kehidupan mereka sedang ditata setelah ada anak, musibah datang menimpa Baron yang harus mengalami rugi besar di pasar uang. Mobil ditarik dealer, rumah disita bank. Tidak ada yang tersisa. Kesabaran benar-benar menguji mereka. Apa yang salah sebenarnya?

Novel Lebih Senyap Dari Bisikan memang tipis tapi di dalamnya mengandung cerita rumah tangga yang padat. Novel dewasa ini meringkas beberapa masalah yang timbul ketika berumah tangga dan saya rasa novel ini harus dibaca oleh siapa pun agar tahu kalau berumah tangga bukan soal 'aku cinta kamu' dan 'kamu cinta aku', tetapi ada tanggung jawab besar yang harus dipikul.

Setelah membaca keseluruhan novel ini, saya akan menyimpulkan kalau akar masalah yang dihadapi Amara dan Baron dimulai dari pernikahan mereka yang tidak direstui dan juga beda agama. Saya meyakini jika restu orang tua mutlak akan membawa kita kemana. Amara menikah dengan Baron tanpa restu ibunya. Sehingga sejauh apa pun Amara berusaha, berlari, dan menganggap segalanya baik-baik saja, satu ujung mereka akan menemukan masalah besar. Restu orang tua adalah kunci hidup baik-baik saja.

Banyak sekali pengalaman yang membuktikan hal ini. Saya pun mengalaminya ketika saya memaksakan diri kuliah, padahal saat itu orang tua lebih setuju saya kerja, dan hasilnya saya harus putus di tengah jalan ketika kuliah. Lain cerita dengan sepupu yang meminta izin menikahi perempuan yang berada di luar kota, dan sang ibu hanya menjawab dengan pertanyaan, "Apa nggak kejauhan?" Dan tak lama kemudian pernikahan itu batal. Makanya saya masih menganggap restu orang tua itu sakral.

Pernikahan beda agama menjadi isu dari beberapa yang dibahas dalam novel ini. Saya yang beragama islam tentu berpendapat tidak setuju dengan pernikahan beda agama. Aspek sah dan tidak sah pernikahan bagi saya sangat penting. Dan jika tetap dilangsungkan pernikahan beda agama, maka secara agama hubungan suami istri pasangan ini masih kategori zina. Pernikahan mereka tidak diakui agama. Jika melanggar ajaran agama akan berakibat buruk, dan jika menuruti ajaran agama akan membawa berkah, sederhananya prinsip di agama islam begini.

Bagian proses melahirkan yang diceritakan begitu menyakitkan digambarkan penulis dengan detail dan jelas. Menunggu pembukaan sampai benar-benar si bayi lolos keluar merupakan pertaruhan hidup dan mati. Bahkan pada proses itu si calon ibu akan mengalami kesadaran pada perasaan dan kehidupan yang selama ini diabaikan. Amara baru merasa perlu minta maaf kepada ibunya ketika dia merasakan sakit yang begitu tak tertahankan, padahal selama ini dia selalu punya pembenaran atas keputusannya.

Pada bukaan keenam, aku ingin menelepon Mami dan meminta maaf karena telah menjadi anak durhaka. Bukaan ketujuh, aku menjerit-jerit minta operasi. Bukaan kedelapan, kupikir aku akan mati. Bukaan kesembilan. aku sangat ingin berak, seperti sudah sembelit selama dua belas purnama
(hal. 52).

Masalah lain muncul ketika anak itu lahir. Selain soal uang, mengurus anak juga harus dipertimbangkan dengan baik. Amara harus mengurus anak tanpa pendampingan ibunya. Padahal sebaik-baik guru dalam mengurus anak adalah orang tua, sebab mereka sudah lebih dulu menguji hal itu. Pada bagian ketika anak Amara digigit tikus dan dengan histeris dia membawa ke rumah sakit, itu puncak keputusasaan betapa lelah mengurus anak kecil. Dan puncaknya ketika Amara hampir berhasil membekap anaknya dengan bantal merupakan bukti bahwa support system keluarga sangat penting bagi ibu yang baru punya anak. Mereka butuh bantuan, mereka butuh nasihat, mereka butuh petunjuk soal bagaimana mengurus anak karena pelajaran ini nggak pernah ada di sekolah maupun kuliah. Saya hampir menangis membaca bagian ini karena saya ingat cerita pengalaman rekan kerja yang baru menjadi ibu, mempunyai anak adalah tanggung jawab baru yang segalanya butuh kesabaran tinggi.

Di tengah huru-hara soal mengurus anak, Baron tertimpa musibah kerugian uang ratusan juta akibat perdagangan uang yang dia lakukan tidak sesuai ekspektasi. Mobil ditarik dealer, rumah disita bank, tidak ada yang tersisa di tangan mereka. Baron semakin kacau dan berujung jadi pengangguran. Kebangkrutan ini merubah kondisi hubungan suami istri. Sampai-sampai Baron khilaf menampar Amara. Amara lebih bingung karena harus menghadapi suaminya yang sudah kehilangan gairah hidup dan harus mengurus anak mereka yang masih bayi. 

Keputusan akhir yang dipilih Amara sekaligus keputusan penulis mengakhiri kisahnya memang melegakan tapi tidak cukup memuaskan saya. Sebab di sisi Baron saya tidak mendapatkan gambaran apa yang terjadi setelah insiden bayi mereka yang digigit tikus dan atas kepulangan Amara kepada ibunya.

Penyampaian penulis untuk kisah Amara dan Baron berumah tangga sangat baik dengan pemilihan diksi yang lugas dan jelas. Alurnya mengalir dengan lembut dan topik masalah rumah tangga dijelaskan dengan baik sehingga saya sebagai pembaca bisa ikut merasakan apa yang pasangan ini rasakan.

Karakter yang muncul pun begitu hidup. Amara digambarkan sebagai perempuan cerdas yang manut suami. Walaupun dia dididik dengan disiplin oleh ibunya, Amara justru tumbuh menjadi perempuan yang mengenal demokrasi dan diskusi. Sehingga permasalahan yang muncul dalam rumah tangganya mampu dia pikirkan dengan matang. Baron sebagai suami memiliki karakter yang tanggung jawab. Walaupun ketika musibah besar melanda, dia memilih untuk meratapi, bukan berdiskusi dengan baik bersama si istri. 

Yang masih mengganjal buat saya adalah sosok Yani, pengasuh bayi Amara, yang kemudian pada beberapa bagian seperti ada narasi mencurigakan. Saya menangkap hubungan gelap antara Baron dan Yani. Tapi ini hanya dugaan sebab tidak ada narasi yang jelas dan lantang yang mengungkapkan hal ini.

Usai membaca novel Lebih Senyap Dari Bisikan ini saya mendapatkan intisari mengenai bagaimana kita harus memiliki adab untuk meminta restu orang tua dalam segala aspek kehidupan. Sebab saya menganggap restu orang tua adalah hal sakral untuk membuka jalan hidup kita. Dan keputusan akhir yang disajikan penulis mengenai konsep pulang, memang pilihan yang tepat. Seburuk apa pun kita saat ini, orang tua adalah tempat pulang paling baik. Mereka akan membukakan pintu selebar-lebarnya dan menjamu kita sebaik-baiknya meski kita pernah mengajak mereka perang di masa lalu.

Untuk novel rumah tangga yang penuh konflik internal ini saya memberikan nilai 5 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!

----------------------------------------------------------

MONDAY BOOK REVIEW

Oya, karena hari ini bertepatan dengan hari Senin, jadi ulasan buku kali ini saya masukkan sebagai postingan Monday Book Review yang digagas oleh Kak Ira di blognya: irabooklover.com

Label ini berlangsung dengan harapan akan bisa mempertemukan dan menggiatkan kembali blogger-blogger buku sehingga bisa lebih produktif dalam mengelola blognya ataupun dalam kegiatan membaca buku.

Bagi teman-teman yang mau ikut serta, silakan langsung berkunjung ke postingan Kak Ira yang membahas soal label Monday Book Review ini dengan mengklik poster di bawah ini: