Oktober 15, 2016

[Resensi] The Girl On Paper - Guillaume Musso


Ungkapan di atas saya ungkapkan setelah beberapa detik menyelesaikan novel The Girl On Paper ini. Ada perasaan membuncah yang susah diungkapkan. Banyak hal positif yang saya terima dari Tom Boyd, Billie, Milo, dan Carole. Saya harus menegaskan, “Siapa pun kalian yang mengaku suka baca buku, rugi sekali tidak membaca buku ini!”.

Judul: The Girl On Paper
Penulis: Guillaume Musso 
Penerjemah: Yudith Listiandri
Penyunting: Selsa Chintya
Proofreader: Titish A.K.
Desain Kover: Chyntia Yanetha
Penerbit: Penerbit Spring
Terbit: September 2016
Tebal buku: 448 halaman
ISBN: 9786027432246
Harga buku: Rp85.000

Buku ini dibuka dengan prolog yang unik, perpaduan cuplikan berita koran yang memberitakan penulis best seller bernama Tom Boyd dan pianis Aurore Valancourt Laureate, dan email dari pembaca sekaligus penggemar Tom. Selain berita kesuksesan Tom dan Aurore, ada juga berita hubungan mereka yang menjalin cinta hingga berita mereka putus.

Efek putus cinta membuat Tom terpuruk dan tidak bisa menulis. Kedua sahabatnya, Milo dan Carole berusaha mengembalikan gairah hidup Tom. Lalu pada suatu malam berhujan, Tom bertemu dengan perempuan yang mengaku bernama Billie, salah satu tokoh dalam novelnya. Billie mengaku jatuh dari novelnya yang salah cetak.

Tom susah untuk mempercayai Billie. Lalu keduanya terikat perjanjian. Jika Tom mau menuliskan novel ketiga dari Trilogie Des Anges agar Billie bisa kembali ke dalam buku, Billie akan membantu Tom mendapatkan kembali Aurore. Berhasilkah perjanjian tersebut dipenuhi Tom dan Billie?

Ternyata novel The Girl On Paper adalah novel pertama dari Guillaume Musso yang diterjemahkan ke bahasa indonesia. Aslinya, novel ini sudah diterjemahkan ke 25 bahasa, termasuk bahasa indonesia. Dengan tema percintaan, persahabatan, petualangan, profesi kepenulisan, penulis meramu dengan porsi seimbang, masing-masing 25%. Plot yang digunakan campuran, maju mundur. Ada beberapa bagian cerita yang merupakan kilas balik dari para tokoh.

Gaya bahasa penulis menyampaikan cerita juga enak sekali, ini berkat penerjemah tim penerbit Spring juga. Dan yang membuat saya menyukai novel ini adalah bagian profesi penulis Tom yang diceritakan dengan elegan, rinci, dan akan menginspirasi pembaca dan calon penulis. Banyak diceritakan proses bagaimana penulis membuat karyanya. Salah satu yang dibeberkan adalah dalam membuat tokoh, Tom akan menulis detail identitas satu tokoh bisa dalam 20 halaman secara terperinci. Lalu ¾ bagian itu tidak akan muncul di novel dan menjadi rahasia penulis. Masih banyak rahasia menulis novel yang dibagikan Tom. Pokoknya, ini panduan menulis yang asyik untuk kalian yang mau membuat novel. Jadi masih ragu untuk baca novel ini?

Bagian lain yang menyenangkan buat saya ketika Tom dan Billie melakukan perjalanan ke Meksiko untuk bertemu Aurore yang sudah memiliki pacar baru seorang pembalap F1. Pada bagian ini penulis mengobrak-abrik rasa kedua tokoh yang tidak saling suka menjadi suka melalui banyak kejadian yang pada akhirnya menjadi kenangan spesial untuk keduanya. Yang melekat di ingatan saya adalah ketika mereka singgah di bar dan terlibat percakapan yang menyakitkan.

“Kenapa... kenapa kau membuatku mengalami semua penderitaan itu dalam novelmu?” [hal. 173]

Selain cerita Tom dan Billie, buku ini mengupas Milo dan Carole. Bentuk persahabatan yang sangat tulus dan penuh liku. Persahabatan yang layak diteladani kita semua. Pada bagian akhir buku, penulis belum cukup rela untuk membuat ceritanya mudah. Lagi-lagi gambaran persahabatan diungkap secara gamblang dan mengharukan.

“Tidak, Tom. Masalahmu adalah masalahku. Kurasa itulah persahabatan, bukan begitu?” [hal. 28]

Saya kasih tahu juga, buku yang gagal cetak sejumlah 99.999 dihancurkan. Menyisakan 1 copy yang oleh penulis dibawa berkelana jauh melalui beberapa pemilik yang mempunyai kisah unik masing-masing. Mengingatkan kepada kita, di belahan bumi lain ada mereka-mereka yang memiliki kehidupan berbeda, memiliki masalah berbeda, memiliki pandangan berbeda, namun perbedaan itu ternyata indah untuk diceritakan, justru tidak untuk diperdebatkan.


Menjelang akhir cerita, pembaca (saya) dibuat gemes dengan fakta mengenai sosok Billie ini. Fakta yang tidak membuat cerita berakhir begitu saja. Dan jujur saya merasa sedih ketika ceritanya berakhir. Lalu saya pun berharap penerbit Spring bisa menerbitkan novel Guillaume Musso yang lainnya. Saya penasaran dengan kisah-kisah seru, bagus dan apik dari beliau.

Novel ini sangat menginspirasi dan membuat saya memandang hobi membaca sebagai sesuatu yang istimewa dan harus dipertahankan. Tentu saja novel ini harus kalian baca, jika tidak sekarang, mungkin besok atau lusa. Tapi kalau boleh saya tegaskan sekali lagi, rugi tidak membaca novel ini paling tidak seumur hidup sekali. Jika sudah baca novel ini, silakan mention twitter saya. Dan ingatkan saya jika review dan pujian saya ini berlebihan.

Rating saya: 5/5


Catatan.
  • “Ya Tuhan, kau harus berhenti berkubang dalam penderitaanmu! Kalau kau tidak segera keluar dari sana, kau akan tenggelam untuk selamanya. Memang lebih muda menghancurkan dirimu sedikit demi sedikit daripada mengumpulkan keberanian untuk kembali berjuang, kan?” [hal. 125]
  • “Tapi apa enaknya sendiri? Kesepian adalah hal terburuk di dunia.” [hal. 243]
  • “Kukira kita sudah melewati hal yang paling sulit, tapi aku salah. Bagian tersulit bukanlah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi menjaganya begitu kita mendapatkannya.” [hal. 258]

Typo.
  • Tecermin = Tercermin [hal. 8]
  • Meneluk = Memeluk  [hal. 262]

Oktober 14, 2016

[Resensi] San Francisco - Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Segar, itu yang saya rasakan membaca novel ini. Banyak keunggulan yang dimunculkan penulis sehingga membaca menjadi kegiatan yang dinamis. Pengetahuan musik pun menjadi bobot yang menambah pengetahuan pembaca, saya.

Judul: San Francisco
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Editor: Septi Ws
Desain sampul: Teguh
Ilustrator isi: Tim Desian Broccoli
Penata isi: Tim Desain Broccoli
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Juli 2016
Tebal buku: iv + 220 halaman
ISBN: 9786023755929
Harga buku: Rp60.000 

Satu-satunya yang menarik dari cowok bernama Ansel adalah badannya yang tinggi, kegemarannya akan musik klasik, dan senar-senar harpa di ujung jarinya. Ansel bekerja di Suicide Prevention Center, bertugas mengangkat telepon, hingga akhirnya ia menemukan hal menarik yang baru: Rani – gadis dari negeri asing yang mengiris nadi setiap dua hari sekali.

Sekarang sebagian besar kehidupan Ansel berputar di sekitar Rani. Dan, Ansel bertanya-tanya apakah pertemuan mereka di Golden Gate Bridge San Francisco adalah takdir, atau sekedar kesialan? Karena dari sini, mobil kabel yang membawa kisah mereka bisa saja menanjak terus hingga setengah jalan menuju bintang, atau justru terjebak dalam kabut di atas perairan biru dan berangin San Francisco.

***

Jujur saja, saya merasa jalan cerita pada novel ini dibuat buram oleh ‘pritilan’ mengenai musik klasik dan informasi di dalamnya, entah kisah penciptaan musiknya, atau kisah hidup si penciptanya. Sehingga benang merah yang seharusnya menonjol, tidak begitu saya rasakan. Emm, tepatnya, saya seharusnya mendapatkan banyak momen berkesan dari alur yang diciptakan. Singkat saja, novel ini sebenarnya soal tokoh punya pacar – ketemu tokoh lain yang punya pacar –merasakan rasa sayang – memilih akan bagaimana. Itu saja, tapi bisa menjadi novel 200-an halaman karena banyak dialog tambahan. Kalau saya harus mencari momen atau adegan mana yang favorit, saya harus katakan tidak ada. Sorry...

Di penyajian ide cerita yang tidak memikat versi saya, saya harus mengakui jika penulis bercerita dengan sangat baik. Penulis seperti memilih adegan-adegan yang tidak biasa sehingga rasa yang ditimbulkan dari plot maju itu, tidak normal. Contoh adegan yang membuat saya kaget, ketika Ansel tidur di apartemen Rani kemudian bangun pagi dan mendapati di sampingnya ada sosok pemuda. Saya sempat kaget siapa si pemuda itu, dan bukannya harusnya Rani yang tertidur di samping Ansel, begitu kalau di novel-novel penulis lain, biasanya. Dan masih banyak lagi adegan yang tidak normal lainnya. Juga, diksi yang dipakai penulis sangat – sangat lugas dan saya seperti membaca novel terjemahan. Efeknya tentu saja tidak akan bosan baca sampai halaman terakhir.

Karena seri novel ini mengangkat kota istimewa yang dibalut kisah cinta, kota San Francisco tidak terkulik total, menurut saya. Hanya spot jembatan Golden Gate Bridge yang dimunculkan. Kelirunya jelas, karena musik klasik itu yang mendominasi dan hampir memenuhi objek cerita yang menghidupkan kisah Ansel dan Rani. Saya tidak kemana-kemana dan saya disuguhi musik yang tetap asing. Itu jelas masalah sebab saya harusnya membaca buku ini serasa piknik.

Saya juga perlu berterima kasih kepada penulis oleh dialog bahasa inggris yang kemudian ia terjemahkan. Sumpah, kalau pola demikian tidak dipilih oleh penulis, saya lebih memilih segera menutup novel dari pada pusing. Makanya, ini pola yang renyah dan nyaman. Thanks to you, Ziggy!

Ansel itu tidak spesial, penyuka musik klasik. Di novel ini, di mata saya, perannya hanya sebatas penyampai cerita dan salah satu benang warna yang dihubungkan dengan karakter lainnya yang lebih berkesan. Rani itu sensitif, suka putus asa, dan bisa jadi negatif thinking. Hasrat bunuh diri itu parameternya. Kok bisa sedepresi itu sehingga bunuh diri baginya sangat normal? Tokoh favorit jatuh pada Benji, serba selalu bisa, tidak egois, dewasa dengan caranya, dan tentu saja unik. Lalu tokoh samping lainnya; Ada, Gretchen, Dexter, Maria, teman-teman band Benji, punya porsi yang pas di cerita, tidak ada yang berusaha mendominasi.

Lalu menilik kovernya yang merah, ini elegan. Ah, seperti kover Roma karya Pia Devina. Tentu saja, saya suka kover-kover seri A Love Story yang lainnya juga. Terasa baru dan aman buat saya sebagai pembaca pria ketika meletakkannya di meja kerja dan bukan tidak mungkin dilihat orang lain.

Kemudian yang saya terima sebagai pesan moral di sini adalah mencintai itu tugas yang tidak bisa dibarengi egois. Tidak semua yang kita perjuangkan akan diberikan Tuhan sebagai reward. Termasuk jodoh. Seberapa kita ingin bersama si A, lalu Tuhan menulis takdir jodoh dengan si Z, maka itulah yang akan terjadi. Maka, terimalah jalan cerita hidup seaneh apa pun dengan pikiran yang luas. Di situ akan ditemukan rasa syukur jika ini bagian hidup terbaik yang dirancang Tuhan.

“Ini cuma pemikiranku saja, tapi menurutku tidak semua orang harus menikahi orang yang dicintainya, tidak semua orang harus mendapatkan pekerjaan yang sesuai untuknya, atau menjadi orang yang selalu diinginkan. Kau harus selalu ingat kalau, bahkan dalam buku cerita, setelah ‘akhir yang bahagia’, semua tokoh harus meneruskan hidup mereka. ‘Akhir yang bahagia’ itu cuma fase, dan ia akan segera berakhir.” [hal. 201]

Rating dari saya: 3/5



Catatan:
  • “Maksudku, sulit kalau dia tidak menyukai sesuatu yang merupakan fondasi seluruh kehidupanku, paham tidak? Orang-orang yang sangat berbeda bisa saja tetap hidup bersama, tapi kalau mereka bertentangan dalam hal paling dasar, sepertinya sangat sulit dijalani.” [hal. 198]
  • “Benar. Itukan seperti penyalahgunaan kekuatan. Yah, kurasa dia mau orang menyukainya bukan karena dia membuat mereka merasa seperti itu. Dia mau orang menyukainya karena mereka memang menyukainya. Tanpa alasan, tanpa syarat.” [hal. 116]
  • “Aku membentuk, menyulut, membakar, memukul, menjepit... Logam-logam yang kukerjakan mungkin menyakitiku, tapi aku juga menyakiti mereka. Yang melukaimu mungkin juga sama hancurnya denganmu. Tapi, mungkin kaliansama-sama merasakan sakit karena kalian dalam proses penciptaan sesuatu yang luar biasa. Kalaun kau memutuskan untuk mundur, kau merasa sakit dengan sia-sia.” [hal. 114]

Oktober 12, 2016

Wishful Wednesday: Way Back Home

Selamat hari Rabu!
Selamat wishful wednesday!

Senangnya ketemu lagi di posting-an yang Insya Allah saya buat rutin setiap hari Rabu. Kalau pun ternyata ada beberapa hari Rabu yang terlewat mem-posting wishful wednesday, mohon untuk dimaklumi. Bukan tidak mau buat, hanya kadang kesibukan dengan hal lain, wishful wednesday ini belum masuk prioritas yang utama.

Saya tidak akan bosan-bosannya untuk mengatakan alasan kenapa saya menyukai membuat posting-an wishful wednesday ini. Tidak lain karena saya suka menyimpan harapan. Harapan tidak jauh dengan mimpi. Dan goal dari mimpi itu sendiri adalah kesenangan ketika menjadi nyata. Yah, bayangkan saja menjadi orang yang tidak punya harapan, jelas sekali dia tidak akan menikmati kesenangan ketika mimpi jadi nyata. Bukan begitu?

Lalu, buku apa sih yang sedang saya taksir?

SATU MATA PANAH PADA KOMPAS YANG BUTA - Suarcani

Kompasmu, apakah kamu memperhatikannya? Ada dua arah di sana. Utara dan Selatan. Sama halnya seperti matamu sendiri, arah itu menyelamatkanmu dari kesesatan.

Tapi kompas miliki buta. Tidak ada utara selatan dalam hidupku, semua hanyut dalam ketakutan dan masa lalu. Lima belas tahun penjara mencuri jarum kompasku dan setelah bebas, aku pun masih belum tahu ke mana arah hidupku.

Aku pembunuh, korban hasrat yang menyimpang. Dunia luar menungguku, berpura-pura menyambutku dengan semarak, untuk kemudian kembali meremukkanku dalam ketakutan.

Aku butuh jalan, butuh mata kompasku. Apakah kamu bisa membantuku menemukannya?

Aku Ravit, bekas tahanan yang kini kembali terpenjara rasa takut.


Novel ini merupakan pemenang pertama lomba Way Back Home yang digelar penerbit Jendela O' Publishing House. Tentu saja membuat penasaran apa yang unggul pada novel ini sehingga bisa membuatnya menyandang juara pertama. Ah, namun selama ini saya menaruh harapan yang tinggi dengan alur yang tidak biasa dan berharap terbayar tuntas. Kalau sejenak dibaca blurb-nya, saya menangkap aura gelap dan kelam untuk cerita Ravit ini. Hanya saja karena belum membaca, rasanya tidak seyakin itu juga.

Oke, itulah buku pada kesempatan ini yang saya taksir. Dan selalu, selalu, selalu, saya tidak akan bosan semoga saya selalu diberikan kemudahan berjodoh dengan banyak buku-buku bagus dan keren. Amin.

Untuk yang ingin ikutan membuat postingan wishful wednesday seperti ini, silakan cek ke blognya Mbak Astrid di Blog Perpus Kecil.

Sampai jumpa hari Rabu depan ya! :) :) :)

Oktober 10, 2016

[Resensi] The Summer I Turned Pretty - Jenny Han

Mengharukan, begitulah yang saya rasakan setelah berada di halaman terakhir. Kisah keluarga yang dicampur dengan kisah percintaan remaja, membuat musim panas Belly mengesankan saya selaku pembaca.

Judul: The Summer I Turned Pretty
Penulis: Jenny Han
Penerjemah: Chefira Inda P
Penyunting: Nunung Wiyati
Penyelia: Ang Tek Khun
Penata letak: Techno
Desain sampul: Ellina Wu
Penerbit: Gradien Mediatama
Terbit: Februari 2012
Tebal buku: 288 halaman
ISBN: 9786022080503
Seorang gadis. Dua orang pemuda. Dan, musim panas yang mengubah segalanya.

Setiap kali musim panas tiba, Isabel (Belly) dan keluarganya menghabiskan waktu bersama keluarga Conrad dan jeremiah di rumah musim panas mereka di Cousins Beach – sejak mereka masih belia. Tahun demi tahun berlalu. Namun musim panas kali ini, Conrad dan Jeremiah telah menjadi pemuda-pemuda yang mencuri hati para gadis, sementara si anak bawang Belly telah menjelma menjadi seorang gadis remaja yang rupawan.

Belly telah memuja Conrad semenjak ia dapat mengingat hal itu. Namun, Jeremiah lebih lugas dalam mengutarakan isi hatinya. Di antara keduanya, hadir Cam – seseorang yang muncul dengan perhatian mendalam di masa kecil mereka.

Apakah musim panas kali ini akan menjadi musim panas berbeda yang akan mengubah segalanya?

Ini merupakan perkenalan pertama saya dengan karya penulis bernama Jenny Han. Nama penulis ini sudah wara-wiri di kalangan blogger buku untuk novelnya yang berjudul To All The Boys I’ve Loved Before dan P.S. I Still Love You. Sayangnya, saya belum berjodoh untuk membaca kedua judul buku tadi. Enggak apa-apa, Insya Allah di kesempatan lain akan saya usahakan baca.

The Summer I Turned Pretty, yang diterjemahkan penerbit Ketika Aku Menjelma Cantik, merupakan bagian paling kecil yang tidak saya sukai. Bukankah seharusnya Musim Panas Ketika Aku Menjelma Cantik? Lupakan saja soal judulnya dan saya harus mengakui kalau ide cerita yang digarap penulis ini berhasil sesuai keinginannya membuat cerita tentang persahabatan yang abadi, persahabatan yang melampaui cinta seorang kekasih, dan melampaui segala bentangan pantai, buah hati, dan masa hidup, seperti yang tertulis di halaman 5.

Pada awalnya saya sedikit tersendat-sendat dengan kalimat terjemahan yang menurut saya belum mengalir dan bisa dinikmati. Namun karena ide cerita yang bagus, saya bertahan membaca hingga selesai. Kalian juga akan mudah terserang jenuh ketika di awal-awal cerita sebab penulis masih berkutat membeberkan hubungan keluarga Belly dan keluarga Conrad. Plot campuran perpaduan antara plot maju dan diselingi plot mundur, menegaskan lebih detail mengenai banyak kenangan yang mempengaruhi masa kini. Kilas balik yang diselipkan menjadi bagian utuh cerita sehingga tidak ada yang janggal atau tertinggal.

Yang menarik di novel ini menurut saya ada dua konflik. Pertama, konflik mengenai cinta remaja yang dialami Belly terhadap Conrad namun harus rumit oleh kehadiran Jeremiah yang lebih terbuka dan Cameron. Penulis sukses membuat percintaan ini menjadi cerita panjang karena tokoh yang terlibat memiliki karakter yang rumit. Belly merasa kalau Conrad hanya menganggapnya adik dari seorang temannya. Conrad tentu saja bukan tipe pemuda yang bisa mengungkapkan langsung apa yang ia rasakan. Sedangkan Jeremiah adalah sosok ekspresif sekaligus menyebalkan dengan gurauannya dan itu membuat Belly tidak pernah melihat keseriusan padanya. Kehadiran Cam yang manis tentu saja semakin membuat kisah percintaan menjadi runcing, terutama untuk Belly, Conrad, dan Jeremiah.

Kedua, konflik keluarga yang penulis ungkap ketika menjelang akhir cerita. Banyak sekali fakta tak terduga mengenai kondisi keluarga Susannah dan itu jelas membuat keluarga Belly ikut merasakan bebannya. Pada bagian inilah saya merasa diaduk-aduk rasa haru. Dua keluarga yang dekat dan layak dicontoh bagaimana mereka menghargai satu dengan yang lain. Hubungan persahabatan yang abadi yang menguatkan kritis apa pun. Dijamin kalian akan ikut berkaca-kaca membaca bagian ini.

Melihat kovernya, saya suka sekali dengan gambar seorang gadis memakai earphone dan sentuhan bunga matahari, menyiratkan suasana musim panas yang kental. Sedikit harapan saja, akan lebih bagus jika kover menampilkan pemandangan pantai, sehingga setting cerita akan lebih terasa.

Jadi masih ragu untuk membaca novel Jenny Han yang ini? Saya sih berharap bisa membaca kelanjutan kisahnya di novel It’s Not Summer Without You!

Menurut saya, novel The Summer I Turned Pretty ini sangat cocok dibaca oleh perempuan muda dan para ibu. Bagi perempuan muda, novel ini semacam panduan mengenai memahami perasaan cinta dan memahami peran anak perempuan di dalam keluarga. Lalu, bagi para ibu, novel ini juga menjadi pandangan baru dalam memberikan pengertian sekaligus pendidikan terhadap anak-anaknya yang menjelang atau sudah dewasa.


Rating dari saya: 3/5

Oktober 01, 2016

Rekapan Buku September 2016


Alhamdulillah, bulan September 2016 sukses dilalui. Banyak hal yang terjadi selama satu bulan ini. Namun posting-an ini bukan ajang curhat, jadi momen itu untuk diketahui saya saja. Oya, ini kali pertama saya membuat postingan berupa rekapan buku apa saja yang saya baca dan buku apa saja yang saya tambahkan untuk dibaca, selama membaca di bulan September 2016 kemarin.

Inilah buku-buku yang saya baca selama bulan September 2016:



1. Sebuah Usaha Melupakan by Boy Candra
2. Gravity by Rina Suryakusuma
3. Where The Mountain Meets The Moon by Grace Lin
4. Senja Di Langit Ceko by Kirana Kejora
5. Sewindu by Tasaro GK
6. Roma by Pia Devina

Inilah buku-buku tambahan koleksi saya selama bulan September 2016:



  • Point Of Retreat (Titik Mundur) by Colleen Hoover (beli)
  • Sewindu by Tasaro GK (beli)
  • Where The Mountain Meets The Moon by Grace Lin (beli)
  • Milea by Pidi Baiq (2, beli, hadiah giveaway)
  • Roma by Pia Devina (hadiah giveaway)
  • Wander Woman by Nina Addison, Irene Dyah, Fina Thorpe, Silvia Iskandar (hadiah giveaway)
  • The Girl on Paper by Guillaume Musso (persembahan penerbit)

Selain buku-buku di atas, sebenarnya ada beberapa buku yang memang sudah diumumkan untuk dikirim ke alamat saya. Namun karena belum sampai di tangan, saya menganggap itu jatah bulan depan, Oktober 2016.

Bulan September 2016 ini, seperti momentum yang penting buat saya, ketika saya memutuskan untuk memberikan perhatian lebih pada hobi saya ini, membaca buku. Bukan sekedar membaca saja, saya berharap bisa mengulas buku dengan jujur, cerdas, dan informatif. Sehingga apa yang saya baca dan saya resensi bisa memberikan masukan untuk calon pembaca dalam memilih bacaan yang menarik.

Jadi buku apa saja yang sudah kalian baca dan kalian dapatkan selama bulan September 2016 ini?

September 29, 2016

[Resensi] Roma - Pia Devina

Jujur, novel ini tidak meninggalkan kesan yang mendalam untuk saya. Proses membaca terbilang lancar, kalau pun sempat terhenti itu karena saya mengantuk. Tapi saya mendapatkan pelajaran untuk selalu membahagiakan seorang Ibu atas perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukannya. Meskipun sebagai anak kita tidak bisa melunasi jasa Ibu.

Judul: Roma (seri A Love Story City)
Penulis: Pia Devina
Editor: Cicilia Prima
Desiner kover: Teguh
Penata isi: Putri Widia Novita
Penerbit: PT Grasindo
Terbit: Agustus 2016
Tebal buku: vi + 194 halaman
ISBN: 9786023756537
Harga: Rp55.000 

Setelah tidak bertemu hampir dua minggu karena kesibukan workshop kepenulisan, Chalinda ‘Chal’ Neomi bertemu mamanya di salah satu restoran di Bandung. Tapi mama datang tidak sendiri, ia membawa sosok pria eropa yang kemudian diketahui bernama Terenzio Lambardi. Pria ini, kata mama, akan menjadi suami ketiga mama. Kabar ini jelas menjadi badai bagi Chal. Ia masih ingat memori buruk pernikahan kedua mamanya dengan guru fisika di SMP-nya dulu. Pernikahan yang bertahan hanya tiga tahun, rusak karena suami mama melakukan KDRT.

Rencana pernikahan akan dilakukan di Roma. Itu sesuai permintaan keluarga besar Terenzio. Sedangkan syukuran kecil-kecilan akan dilakukan di Indonesia. Dan lima bulan setelah pertemuan di restoran, Chal menginjakkan kaki di kota Roma. Di bandara Fiumicino, pertama kalinya Chal bertemu Maurizio Folliero, pemuda yang menjemput. Pada hari pertama itu, Chal dan Maurizio mendengar pembicaraan dua saudara Terenzio yang mencurigakan mengenai pernikahan mamanya dan Terenzio. Chal takut sesuatu yang buruk terjadi pada mamanya. Maurizio yang pada awalnya ingin tidak peduli, akhirnya ikut membantu mencari tahu.

Berhasilkah Chal dan Maurizio mengungkap di balik maksud kedua paman Terenzio? Lalu bagaimanakah kelanjutan rencana pernikahan mamanya Chal?

*****
Saya memilih novel Roma ini karena blurb yang mengundang rasa penasaran, terutama pada bagian usaha Chal mengijinkan pernikahan mamanya untuk ketiga kali. Saya membayangkan akan saya temukan cerita yang membuat hati merasa hangat oleh konflik hubungan ibu anak, di sini diperankan Chal dan mamanya; Ermina Darra. Hasilnya, saya menemukan konflik yang saya maksud namun tidak sampai membuat saya merasakan kesan hangat tadi. Alasannya, plot yang bagus dicurangi oleh penulis dalam memaparkan setting Roma yang terlalu banyak (menurut saya).

Saya juga menyayangkan konflik percintaan Chal, yang seharusnya cinta segitiga, yang tidak tergali dengan maksimal. Karakter Ryan Watkins seharusnya diperkuat untuk menjadi saingan Maurizio dalam menaklukan hati Chal. Di buku ini, Ryan Watkins hanya muncul –kalau tidak salah- hanya dua kali. Pertama, ketika ia mengobati kaki Chal yang terkilir, yang merupakan pertemuan pertama Chal dengan Ryan. Kedua, ketika Chal pergi kembali ke BlueLeaves, kafe Ryan, untuk menghibur diri setelah berhasil mengungkapkan rasa tidak percayanya pada Terenzio dan membuat mamanya membatalkan pernikahan. Rasa persaingan itu tidak muncul dengan kuat.

Pemberian nama pada ‘hampir’ semua tokoh yang muncul di dalam cerita juga sangat mengganggu. Penulis bahkan memberikan nama pada pelayan di kafe Ryan yang muncul hanya sekali, juga pada asisten rumah tangga di rumah keluarga besar Terenzio. Pendapat saya, setiap nama tokoh yang diberikan, ada kewajiban penulis untuk menggali karakternya. Gara-gara ini saya sering terkecoh oleh nama-nama baru yang porsi kehadirannya tidak seberapa. Ditambah nama-nama Eropa yang susah saya ingat.

Lalu apa yang unggul dari novel Roma ini?

Saya suka konfliknya yang ringan. Percintaan yang digarap penulis lewat Chal dan Maurizio sangat manis. Awalnya tidak suka, kemudian suka akibat kebersamaan dan hukum mutualisme. Proses penulis mendekatkan dua karakter ini patut diacungi jempol. Apalagi saat keduanya mengelak dari perasaan aneh yang perlahan-lahan timbul.

Juga, cara penulis bercerita saya bilang mengalir. Saya tidak tersendat-sendat ketika membaca oleh kalimat-kalimat yang ambigu. Pemilihan diksi yang tepat membuat novel ini aman dilahap. Berikut penokohan yang kuat untuk karakter utamanya; Chal dan Maurizio, sudah sangat baik. Chal yang manja dan gampang panik. Maurizio yang cuek campur simpati. Perpaduan yang kemudian membuat keduanya rada alot untuk saling memahami.

Kovernya sendiri sangat memikat dalam sekali lihat. Warna merah yang dominan menjadikan Roma kelihatan menonjol, apalagi pemilihan warna putih untuk tulisan lainnya, membuat kover terlihat bersih dan kontras.

Menurut saya novel ini pas untuk pembaca yang suka dengan tema romantis berlatar kota yang romantis, salah satunya kota Roma.

Rating dari saya: 2/5



Typo:

  • Mulus-mulut = Mulus-mulus [Hal. 21]
  • Membuaku = Membuatku [Hal. 164]