Januari 16, 2018

[Resensi] A Sweet Mistake - Vevina Aisyahra

Judul: A Sweet Mistake
Penulis: Vevina Aisyahra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Desember 2017
Tebal buku: 248 halaman
ISBN: 9786020378343
Harga: Rp59.000

Ketika sebuah novel diganjar penghargaan, saya selalu antusias ingin membaca. Berharap bisa paham apa yang menjadi alasan novel tersebut menjadi juara. Termasuk ketika pengumuman juara Gramedia Writing Project (GWP), saya ikut antusias ingin tahu kualitas apa yang dilihat tim Gramedia dari novel-novel yang lolos juara.

Setelah membaca Twinwar karya Dwipatra yang dinobatkan sebagai juara pertama, kali ini kesempatan saya membaca juara ketiganya; A Sweet Mistake karya Vevina Aisyahra. Dan rencananya akan dilanjutkan membaca juara kedua agar genap saya membaca semua juaranya.

Dengan niat mejahili Liona, Rey membawa Liona ke semak-semak di belakang rumah saat mereka sedang menghadiri syukuran Kakek Rey yang kesehatannya membaik. Rey mencium Liona. Malangnya, tindakan Rey dipergoki Ayah Liona dan Ayah Rey. Mereka disidang atas tindakan asusila dan diputuskan untuk dinikahkan. Rey lagi-lagi berulah, ia mendatangi kamar Liona pada malam hari untuk membicarakan solusi rencana pernikahan mereka yang sama-sama mereka tidak ingini. Malang tak bisa ditolak, mereka kepergok lagi oleh ibunya Liona. Sidang kedua, mereka diputuskan menikah secepatnya.

Rey dan Liona bukan dua orang yang tetanggaan harmonis. Sejak mereka anak-anak, Rey kerap mengerjai Liona demi melihat wajah Liona berekspresi karena Liona dikenal dengan sebutan si muka papan. Dan pernikahan mereka seperti bencana besar. Apalagi Kakek sudah menghadiahi rumah yang harus mereka tinggali.

Saya sempat heboh saat selesai membaca sampai halaman 25-an. Seperti yang pernah saya tweet di akun twitter saya, kalau saya merasa awal bab novel ini sangat-sangat-sangat-dipertanyakan. Pertama, disebutkan kalau Rey, Tito, Tommy, dan Adri merupakan sekumpulan cowok ganteng di fakultasnya. Tetapi, penulis kecolongan untuk mendeskripsikan sisi ganteng secara visual. Saya tidak mendapatkan gambaran level ganteng mereka seperti apa. Kedua, perseteruan Rey dan Liona sudah sangat parah dan saya tidak mendapatkan gambaran alasan kenapa Rey sebegitu bencinya sama Liona. Saya kira Rey pernah mengalami peristiwa besar yang menjatuhkan harga dirinya dan penyebabnya Liona. Namun, sampai halaman terakhir saya hanya disuguhkan alasan ringan dan itu diluar pengharapan saya. Ketiga, dialog Rey keterlaluan alay. Sebagai cowok ganteng dan sedikit badung, pemilihan bahasa dialog Rey oleh Vevina sedikit keluar jalur. Misalkan, “Meneketehe.” Yakin Rey sebegitu alaynya?

Catatan-catatan di atas memang menjadi ganjalan ketika membaca di awal-awal bab. Dan saya masih berpikir positif bakal ada hal seru yang membuat novel Vevina ini jadi juara. Dan itu benar sekali, saya mendapatkan kisah Rey dan Liona yang romantis. Awalnya ribut lalu berubah sayang, konsep yang sudah umum dipakai penulis. Jalan yang dipakai Vevina untuk proses rekonsiliasi pernikahan yang dijalani Rey dan Liona berhasil memikat saya. Terlebih konflik sampingan tentang hubungan Liona dan ayahnya yang dingin, membuat novel A Sweet Mistake ini lebih emosional.

Adegan romantis yang dipakai Vevina dalam novel ini pun bukan sesuatu yang baru; membuat kue bareng, menonton DVD bareng. Tapi, pemilihan adegan ini justru membuat saya mesem-mesem sendiri. Dan mungkin kesan inilah yang membuat saya memutuskan menyukai novel ini dan mengabaikan kekurangan-kekurangan yang ada. Saya yakin, novel lini Young Adult akan dikatakan berhasil jika kisahnya membuat hati pembaca senang.

Yang saya dapatkan setelah membaca novel A Sweet Mistake ini adalah pentingnya untuk jujur mengungkapkan apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan. Menyimpan sendiri hanya akan memunculkan kesimpulan-kesimpulan keliru dan jika hal itu berlangsung terus-terusan, ada hal yang sudah kita tinggalkan jauh di belakang. Dan membentuk keluarga harmonis sama pentingnya. Saya selalu iri dengan novel yang mengisahkan keluarga harmonis. Setiap anggota keluarganya saling mendukung dan tidak menyimpan perselisihan. Rasanya membayangkan kondisi keluarga harmonis selalu menghangatkan hati.

Dan akhirnya saya memberikan nilai 4/5 untuk kegigihan Rey dan Liona mengatakan apa yang mereka rasakan.

Januari 15, 2018

[Resensi] A Hole in The Head - Annisa Ihsani

Judul: A Hole in The Head
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Aditiyo Haryadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal buku: 232 halaman
ISBN: 9786020377445
Harga: Rp58.000 

Novel A Hole in The Head merupakan novel terbaru dari Annisa Ihsani dan jadi novel kedua yang saya baca, setelah sebelumnya saya membaca novel A Untuk Amanda. Ada perbedaan besar antara kedua novel tadi. Novel A Hole in The Head mengangkat kisah petualangan misteri, sedangkan novel A Untuk Amanda lebih banyak mengupas psikologi remaja.

Di novel ini kita akan berkenalan dengan anak perempuan berusia tiga belas tahun bernama Ann. Orang tua Ann bercerai ketika dia berumur dua tahun. Menjelang liburan sekolah selama dua minggu, Indira harus merubah rencana liburan Ann di rumah neneknya karena adik perempuan Indira baru saja melahirkan dan si nenek dibutuhkan sekali untuk mengurus adiknya itu. Indira akhirnya memutuskan mengirim Ann ke rumah ayahnya di Jenewa.

Gertjan, si ayah Ann, setelah bercerai, dia menikahi Mama Nina dan sudah memiliki anak bernama Emil yang berusia sepuluh bulan. Kesibukan Gertjan saat ini adalah membantu Mama Nina mengurus penginapan warisan keluarga, Penginapan Monchblick Inn.

Setibanya Ann di penginapan sekaligus rumah ayahnya, ia bertemu Jo, cucu seorang koki di penginapan. Ann juga mendengar rumor hantu yang beredar mengenai penginapan Monchblick Inn dan membuat penginapan jadi sepi pengunjung. Jiwa petualang Ann terpanggil untuk membongkar kebenaran mengenai hantu Matteo yang mengganggu di penginapan. Dia pun bekerja sama dengan Jo melakukan penyelidikan.

Membaca novel A Hole in The Head mengingatkan saya pada novel Trio Detektif punya Robert Arthur. Sama-sama memecahkan misteri dan tokohnya anak-anak. Saya sangat menyukai diksi pada novel ini, mirip terjemahan novel anak. Dunia anak yang penuh ingin tahu digambarkan dengan apik oleh Ihsani sehingga dia berhasil menggiring pembaca untuk ikut serta berpetualang. Jalan pikiran anak-anak yang bergulir tanpa banyak pertimbangan, spontan, dan sumbu pendek, membuat saya yang bukan seusia Ann lagi, seakan bernostalgia dengan masa kecil. Auranya kerasa dan berkesan. Rasa takut, deg-degan, dan penasaran merasuk ke jiwa saya sepanjang mengikuti kisah Ann.

Novel ini mematahkan stereotip tentang ibu tiri yang jahat dan tidak sayang terhadap anak tiri. Sebab Mama Nina sama sayangnya terhadap Ann meski ia memiliki anak kandung. Mama Nina peduli terhadap kebahagiaan Ann yang sudah mau menghabiskan liburan bersama keluarganya di tengah kesibukan dia mengurus penginapan yang sedang bermasalah. Selain itu, kita pun akan melihat kerukunan, saling menghormati antara Mama Nina dan Indira padahal keduanya memiliki status hubungan yang rentan dengan ketidaksukaan.

Saya paling suka pada bagian misteri yang kunci kebenarannya susah ditebak. Saya pun rasanya punya lubang di kepala, seperti judul ini, karena tidak menyadari petunjuk-petunjuk yang mengarah pada kebenaran. Padahal, penulis sudah menyinggung petunjuk-petunjuk itu di beberapa bagian. Artinya, Ihsani sukses mengonsep cerita misterinya.

Novel ini cocok dibaca oleh pembaca anak-anak. Selain menghibur, novel ini pun memiliki sisipan ilmu pengetahuan. Dan ini kelebihan novel Ihsani, memberikan cerita yang menambah wawasan. Ilmu pengetahuan yang dipilih pun bukan sekadar tempelan agar ceritanya berbobot. Justru ilmu pengetahuan itu mendukung penuh pada cerita.

Catatan saya untuk novel ini terletak pada cara Ihsani mendeskripsikan latar tempat yang menurut saya masih kurang dalam. Detail lokasi, baik jalanan, lingkungan, penginapan, dan tempat wisata, belum tergali dengan sangat baik. Saya tidak mendapatkan imajinasi latar yang benar-benar bikin bulu kuduk merinding. Padahal, menilik misteri yang diangkat, aura dingin, gelap, dan begidik, harusnya bisa tersampaikan kepada pembaca. Sayangnya, itu jadi PR Ihsani untuk karya selanjutnya. Saya membandingkan dengan karya Paula Hawkins yang Into The Water, aura dingin kolam penenggalaman tersampaikan dengan baik melalui narasi yang berulang dengan pemilihan kata yang berbeda, dan dukungan misteri yang memang menyesakkan.

Lainnya, saya kurang suka akhir cerita yang dipilih Ihsani terkait si penjahat. Sebab tidak ada hukuman dan ganjaran yang sepadan yang diterimanya. Padahal, jelas sekali kejahatannya terbilang besar. Tapi saya masih berpikir positif, pilihan Ihsani ini berdasarkan genre novelnya yang condong ke buku anak atau buku keluarga.

Saya memberikan nilai 4/5 untuk kecolongan Ann memahami kebenaran misteri yang ada di penginapan Monchblick Inn.

Januari 10, 2018

[Resensi] Rahasia Selma - Linda Christanty


Judul: Rahasia Selma
Penulis: Linda Christanty
Editor: Tia Setiadi
Penerbit: Basabasi
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Tebal buku: 144 halaman
ISBN: 9786026651105
Harga: Rp35.000 (via bukabuku.com, sebelum diskon)

Membaca cerita pendek akan melahirkan tafsir cerita yang berlainan antara yang satu dengan yang lain. Ada kemudahan dan kesulitan dalam membaca cerpen. Mudah karena cerpen lebih singkat dari pada novel. Sulit karena bentuknya singkat sehingga cerita kadang dipadatkan, tidak rinci, dan banyak analogi-analogi.

Buku kumpulan cerpen Rahasia Selma merupakan buku kedua dari Linda Christanty yang saya baca setelah sebelumnya saya membaca Kuda Terbang Maria Pinto. Christanty masih unggul dalam penggunaan gaya bahasa yang sederhana dan renyah seperti yang di buku satunya. Tema yang diangkat pada sebelas cerpennya berragam.

Tokoh anak-anak beberapa kali dimunculkan oleh Christanty pada cerpennya: Pohon Kersen, Menunggu Ibu, Rahasia Selma, dan Para Pencerita. Tokoh anak-anak dipakai sebagai sudut pandang sehingga diksi sederhana sangat pas untuk menyesuaikan pemilihan sudut pandang ini.

Unsur seksualitas pun terasa kental di buku ini: Pohon Kersen, Kupu-Kupu Merah Jambu, Mercusuar, Jazirah di Utara, dan Babe. Seksualitas yang dimaksud lebih ke adegan seks, jenis orientasi, bahkan penyimpangan dan kejahatan seksualitas. Tema LGBT bahkan muncul di dua cerpen mewakili tema gay dan lesbi.

Yang paling menonjol dari sebelas cerpen di buku ini adalah tema ketidakbahagiaan. Mungkin benar, ketika pembaca disuguhkan cerita yang tragis dan getir, akan lebih mudah memberikan kesan. Ikut prihatin, ikut sedih, merasa nasibnya terwakili, atau justru mencerahkan karena sedang atau pernah mengalami kejadian serupa. Reaksi pembaca ini yang menjadi tolok ukur penilaian sebuah buku.

Pohon Kersen sebagai cerpen pembuka sekaligus cerpen favorit saya. Mengisahkan tentang anak perempuan yang suka sekali memanjat pohon Kersen dan dari pohon ini ia mengamati kejadian-kejadian di sekitarnya. “Aku juga bisa mengintai dan mengetahui banyak peristiwa yang berlangsung di rumah kami dari balik daun-daun kersen yang hijau rimbun” (hal. 15). Ciri lain dari cerpen Christanty adalah tidak berpusat pada objek cerpen. Pohon Kersen di cerpen ini tidak menjadi fokus utama. Justru pembahasan melebar ke berbagai hal yang berada di sekitar tokoh utama dan objek cerita. Bagian penting dalam cerpen ini justru menyibak kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil yang dilakukan oleh orang terdekatnya. Saya terkejut membacanya karena cerita pohon Kersen melebar ke kasus besar begitu.

Cerpen Kesedihan mengangkat kisah hubungan yang rumit, yang tidak saya pahami bentuknya. Sudut pandang perempuan yang tinggal bersama pria, entah hubungan mereka suami-istri atau justru perzinahan. “Aku juga teringat ceritanya tentang hubungan kita. Kamu menyebutku keponakanmu" (hal.87). Hubungan mereka dingin, tapi tidak ingin berpisah. Lalu, si pria membawa perempuan lain yang menurut si perempuan utama sangat bertolak belakang dengan kepribadian dirinya. Walau rela, tetap si perempuan utama merasa kehilangan apa yang pernah ia miliki seutuhnya di masa lalu.

Sebagai pembaca pria, saya menyukai narasi adegan seksual pada cerpen Jazirah di Utara. Walau tidak vulgar, cukup jelas untuk dibayangkan. Sebelum kesakitan memuncak di bawah sana, matanya terbuka sekali lagi, menatap wajah lelaki itu. Begitu lembut. Begitu kanak-kanak. Dia tiba-tiba ingin memberikan seluruh dirinya sekarang juga, lalu menjelma udara agar tinggal di dalam darah dan paru-paru lelaki itu, menjaganya dari maut (hal. 115).

Sepanjang cerpen ini, selain menceritakan tentang pandangan si perempuan terhadap ayahnya yang religius, penggambaran seksualitasnya kental. Dari adegan, hingga kondisi ranjang kusut mempertegas unsur seksualitas.

Dengan membaca buku Rahasia Selma, kita akan memainkan hati dan pikiran untuk memahami kegetiran hidup yang mungkin tidak akan kita rasakan. Dan gaya menulis Christanty bisa dijadikan rujukan untuk belajar menulis yang renyah dan sederhana. Saya memberikan nilai 4/5 untuk kumpulan cerpen ini.

Januari 08, 2018

[Resensi] The Girl on The Train - Paula Hawkins

Judul: The Girl on The Train
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penyunting: Rina Wulandari
Penerbit: Noura Books
Cetakan: September 2015
Tebal: 440 halaman
ISBN: 9786020989976
Harga: Rp79.000 (via bukabuku.com, sebelum diskon)

Efek dari keterpukauan saya pada novel thriller kedua Paula Hawkins yang Into The Water, saya mencari buku thriller pertamanya ini dan tanpa menunggu lama segera mulai membacanya. Perasaan bagai diterpa ombak besar menghantam benak saya. Lantaran ceritanya yang membuat saya sangat terkesan.

Di novel ini kita akan berkenalan dengan Rachel Watson, seorang janda yang pemabuk. Dia rutin naik kereta komuter pada pagi dan sore. Melintasi jalur yang sama setiap hari. Makanya dia hafal betul dengan dua rumah yang ia lihat dengan penuh perhatian dari kereta. Rumah nomor lima belas dan nomor dua puluh tiga. Rumah nomor lima belas dihuni oleh sepasang suami istri, Jason-Jess. Rachel iri melihat kemesraan mereka yang beberapa kali, bahkan sering, terlihat duduk di beranda rumah. Sedangkan rumah nomor dua puluh tiga adalah bekas rumahnya. Sejak Tom ketahuan selingkuh dan selingkuhannya, Anna, hamil, posisi Rachel sebagai istri Tom berakhir. Tom membawa Anna ke rumah itu. Rachel sendiri menginap di flat Cathy.

Pada Jumat pagi, Rachel melihat Jess di beranda. Namun, dia tidak berduaan dengan Jason. Di belakangnya ada pria lain yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Mereka kemudian berciuman. Rasa iri melihat kemesraan Jason-Jess berubah menjadi marah. Rachel marah terhadap Jess yang kelihatannya berselingkuh di belakang Jason.

Pada Minggu pagi, Rachel mendapati dirinya yang kacau. Selain masih menyisakan mabuk semalam, ia juga mendapati luka di belakang kepalanya. Ada sesuatu yang aneh sebab ia lupa dengan kejadian semalam. Pada Senin malam berikutnya, Rachel mendapatkan kabar di Yahoo jika Jess menghilang. Nama asli Jason-Jess yang ia karang akhirnya diketahuinya, Scott Hipwell-Megan Hipwell. Dari sinilah misteri bergulir. Kemana Megan pergi? Apakah hubungan luka di kepala Rachel dengan menghilangnya Megan?

Paula Hawkins kembali mengangkat tokoh sentral perempuan. Kali ini tiga orang; Rachel, Megan, dan Anna. Seperti novel Into The Water, penulisan tiap bab-nya serupa, menggunakan sudut pandang ketiga dari salah satu tokoh sentral tadi. Kesamaan lainnya, tokoh perempuan di novel Hawkins selalu memiliki masalah kehidupan kompleks dan mendalam. Rachel digambarkan jadi janda yang ditinggalkan karena suaminya selingkuh hingga selingkuhannya hamil. Rachel terpuruk menjadi pemabuk dan imbasnya ia dipecat dari pekerjaannya. Megan terlena dengan permainan selingkuh hingga masalahanya tambah runyam.Selain itu dia juga masih terjebak masa lalunya yang kelam. Sedangkan Anna menjadi perempuan yang merasa benar dengan menjadi selingkuhan. Dalihnya, karena sama-sama jatuh cinta ia tak berdaya mengambil pilihan lain walau pilihannya menyakiti perempuan lain.
Hawkins terlalu cerdas membuat misteri di bukunya untuk diikuti. Dengan memberikan kejadian akhir di awal, lalu cerita digiring ke asal mula kejadian itu secara perlahan-lahan, detail, dan lengkap. Selain alur maju, Hawkins juga kuat menarasikan kejadian lampaunya.

Yang paling mencolok dari keseruan novel Hawkins adalah bagaimana dia menciptakan tokoh dengan karakter yang bulat dan penuh jiwa. Sehingga kita akan mudah mengimajinasikan tokoh-tokohnya dan memahami apa yang dilihat, dirasakan, bahkan disentuh si karakter. Bahkan kunci misteri dari bukunya dapat Hawkins samarkan melalui karakter tokoh yang terlalu terasa nyata. Saya bahkan menyimpulkan karakter jahat di novel Hawkins tergolong psikopat.

Nilai kehidupan yang dibawa Hawkins juga mengena. Pada novel ini dia menggaungkan pentingnya untuk jujur dan berani mengungkapkan (pikiran dan perasaan) dalam segala bentuk hubungan. Sebab, modal kejujuran dan keberanian mengungkapkan akan membawa alur hidup yang terkendali. Jika dalam perjalanan hidup ditemukan rintangan. Modal tadi cukup ampuh jadi pegangan.

Saya memberikan nilai 5/5 sebab saya mendapatkan lebih banyak (hiburan, pelajaran, perasaan deg-degan) setelah selesai membaca buku ini.

Januari 05, 2018

[Resensi] Into The Water - Paula Hawkins



Judul: Into The Water
Penulis: Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Penerbit: Noura Books
Cetakan: Pertama, September 2017
Tebal buku: 480 halaman
ISBN: 9786023853366
Harga: Rp89.000 

Novel yang menarik itu yang bisa menghanyutkan pembaca. Perasaan deg-degan, penasaran kejadian berikutnya, dan bagaimana akhir kisahnya, membuat pembaca terus membuka halaman buku. Paket perasaan ini saya temukan di buku thriller kedua Paula Hawkins. Saya puas sekali bisa berkenalan dengan penduduk di Beckford dan sungainya yang penuh misteri.

Penulis mengajak kita ke Beckford, pemukiman yang masih sejuk, asri, tenang, dan damai bersama Jules Abbott. Kedatangan Jules kesana untuk mengurus kematian kakaknya, Nel Abbott. Tubuh Nel ditemukan tewas di Sungai Penenggelaman. Polisi menduga ia jatuh dari tebing, entah bunuh diri atau dijatuhkan seseorang. Inspektur Detektif Sean Townsend dan Sersan Erin Morgan menyelidiki kasus tersebut. Penelusuran merambat lebar pada kasus kematian sebelumnya; Katie Whittaker dan Lauren Slater. Ada banyak rahasia pada kasus kematian perempuan-perempuan di sungai itu dan melibatkan penduduk di Beckford.

Saya begitu tercengang mengikuti kisah Jules di Backford. Tidak menduga jika empat keluarga saling terhubung atas kematian-kematian yang terjadi di Sungai Penenggelaman. Semua orang menyimpan rahasia. Pepatah yang mengatakan ‘serapat-rapatnya menyimpan bangkai, akan tercium pula baunya’ berlaku di sana. Rahasia yang disimpan rapi akhirnya terkuak. Dan satu rahasia terbongkar, membongkar rahasia lainnya.

Suasana di Beckford yang damai berbeda dengan yang sebenarnya terjadi. Ada perselingkuhan, percintaan tak pantas, pembunuhan, bunuh diri, menutupi kebenaran, dan pemerkosaan. Semua kejahatan itu menghubungkan setiap orang bagai benang kusut. Sulit diurai tetapi harus diurai. Dan Hawkins berhasil meramu jalan cerita jadi tidak tertebak.


Di balik kekelaman Beckford, kita juga akan menemukan nilai kebaikan. Seperti kekentalan persahabatan Katie dan Lena yang patut ditiru. Keduanya saling membantu ketika ada masalah. Keduanya juga memegang janji yang dibuat. Selain itu, kita juga bisa meniru Jules yang akhirnya membuka hati dan belajar menerima Lena sebagai anak setelah kesalahpahaman antara Jules, Nel, dan Lena terselesaikan.

Novel Into The Water sangat menegangkan. Berkat terjemahan yang baik, saya bisa menyelesaikan cerita Jules dengan lancar. Awalnya memang pusing mengingat siapa-siapa karakter yang ada sebab setiap bab selalu berubah sudut pandang. Walau sudah ditulis pada bab itu sudut pandang siapa yang bercerita, saya beberapa kali harus membuka bab sebelumnya untuk memastikan karakter A itu siapanya karakter B dan karakter C. Namun sejalan proses membaca, akhirnya saya hafal posisi karakter-karakter yang muncul.

Saya memberikan nilai 5/5 untuk novel ini dan merekomendasikannya bagi pembaca yang suka cerita misteri. Tentunya, saya pun harus membaca buku thriller pertama Paula Hawkins yang The Girl on The Train, untuk membuktikan kedua kali jika Hawkins memang jempolan membuat cerita misteri.

Kengerian yang dimunculkan oleh pikiran selalu jauh lebih buruk daripada yang sebenarnya.

Januari 04, 2018

Selamat Datang Tahun 2018


Hari ini jadi hari keempat di tahun 2018. Pergantian tahun sudah lewat dan saya merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada tahun 2017. Ada banyak hal baik yang saya terima. Itu berkah di sepanjang tahun.

Kebiasaan membuat artikel di blog ini sempat berhenti mulai bulan Mei sampai dengan November karena laptop rusak. Sampai sekarang pun belum ada gantinya. Lalu, saya memutuskan untuk menulis kembali artikel resensi buku di bulan Desember. Itu berkat komputer di tempat kerja. Saya akan membuat resensi di kertas A5 dengan tulisan tangan usai membaca buku. Di kantor saya mengetik ulang di komputer dan memasukkan ke blog. Semoga ini tidak berlangsung lama sebab saya merasa banyak keterbatasan.

Memasuki tahun 2018, saya punya beberapa harapan. Saya akan bekerja keras mewujudkan itu sambil menikmati kehidupan sehari-hari. Berikut daftarnya:

1. Target goodread 50 buku
2. Rutin membuat resensi buku di blog
3. Mengikuti workshop atau seminar menulis
4. Membuat tulisan fiksi sendiri
5. Lebih banyak belajar menulis yang efektif
6. Menguatkan brand blog

Sebenarnya banyak hal yang ingin dilakukan di blog ini. Biar sebagian lainnya saya simpan dan wujudkan langsung. Dan saya mohon doanya agar di tahun 2018 ini saya mendapatkan banyak kebaikan.