Resensi Novel Heaven - Mieko Kawakami

Itu sekadar keindahan belaka, yang tak bisa kusampaikan kepada siapa pun, yang tak bisa diketahui oleh siapa pun (kalimat terakhir Novel Heaven; 232)


Judul:
Heaven

Penulis: Mieko Kawakami

Penerjemah: Ribeka Ota

Sampul: Ellen Halim

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia | KPG

Terbit: Desember 2023

Tebal: v + 232 hlm.

ISBN: 9786231341181


Perasaan saya sama, sama-sama marah, ketika menonton film atau membaca cerita yang ada unsur perundungan. Mungkin ini terjadi karena saya pernah di posisi korban pada jaman sekolah dulu. 

Memikirkan soal perundungan, selain pelaku salah, saya juga sering menyalahkan korban yang tidak berbuat apa-apa. Pikiran ini muncul saat saya sudah dewasa. Menyayangkan sekali dulu kenapa saya tidak berbuat apa-apa, saya penakut, saya pecundang, padahal saya yakin kalau pelaku perundungan dilawan, ceritanya akan berbeda. Itulah kenapa ketika keponakan saya pindah sekolah, saya selalu tanya apakah ada yang melakukan perundungan, dan jika ada, saya minta dia bawa pisau ke sekolah dan boleh menusuknya.

Barbar banget!

Karena saya tahu semua orang akan tutup mata dan telinga sebelum kasusnya menjadi parah. Jadi bukan hanya pelaku yang perlu digertak, orang sekitar pun perlu dikejutkan kalau perundungan bukan masalah sepele seperti anak-anak becandaan. 

Dan membaca tokoh utama di novel Heaven ini yang mengalami perundungan parah, saya pun ikut geram. Si aku, murid laki-laki, ini baru kelas dua SMP, dan dia memiliki kekurangan, matanya juling. Selama ini ia mengira kalau gara-gara matanya yang juling, dia jadi korban bully.

Si aku tidak sendirian jadi korban, ada murid perempuan yang sekelas dengannya, bernama Kojima yang bernasib sama. Melalui surat menyurat mereka memutuskan menjadi sekutu karena persamaan nasib. Mereka melakukan pertemuan diam-diam untuk saling kenal. Dengan saling balas surat mereka merasa menjadi normal di tengah perundungan yang mereka alami di sekolah.

Pertemuan dan surat membawa keduanya pada diskusi mendalam soal apa yang mereka alami. Keduanya mulai saling mengenal latar belakang keluarga. Keduanya kerap membahas makna hidup karena menjadi korban.

Saya sudah berharap kalau kedua korban ini akan membalik keadaan dengan melawan Ninomiya dan gengnya. Tetapi itu tidak terjadi. Perundungan parah yang dialami si aku membuatnya kerap berpikir untuk bunuh diri.

Lalu, sampai kapan keduanya jadi korban perundungan? 

Saya benci dengan karakter Kojima yang meromantisasi menjadi korban. Dia selalu berpikir kalau jadi korban pun akan ada makna hidupnya. TOLOL! Yang ada kalian tambah rusak selama menerima terus perundungan itu. Ketidaksukaan saya bertambah saat dia mengajak si aku untuk melakukan hal yang sama.

Isu perundungan sangat kental dibahas di novel ini. Bentuk perundungannya pun parah; disuruh membawa barang-barang Ninomiya, ditendang, dipukul pakai seruling, disuruh berlari, pernah dipaksa makan atau minum air kolam, air kakus, ikan mas, sisa-sisa sayur di kandang kelinci, disuruh makan kapur tulis, kepalanya dijadikan bola sepak, dan terakhir ditelanjangi agar melakukan hubungan seks sambil ditonton. Bagaimana enggak marah membaca bentuk perundungan begini?

Dan dari novel ini saya pun jadi tahu kalau kondisi keluarga sangat berpengaruh terhadap korban perundungan. Baik si aku dan Kojima ternyata berasal dari keluarga yang tercerai berai. Buat mereka susah menemukan pegangan ketika perundungan di sekolah membuat hidup mereka limbung, sehingga mereka bingung meminta tolong kepada siapa. Yang ada mereka memendamnya dan mengatakan kalau di sekolah mereka baik-baik saja.

Dialog antara si aku dan Momose cukup deep membahas antara perasaan korban dan pelaku. Korban akan menyalahkan pelaku karena melakukan perbuatan perundungan, dan pelaku akan menyalahkan korban karena mau saja dirundung. Jadi karena inilah saya sesekali menyalahkan korban juga. Di otak saya, para korban ini bisa minta tolong kepada keluarga atau siapa pun. Bisa melakukan perlawanan, bisa menarik perhatian kalau dia itu korban dan butuh ditolong.

"Artinya," sembari terkikik Momose melihatku, "sebenarnya tidak harus kau. Bisa siapa pun. Kebetulan kau di situ dan kebetulan suasan hati kami begitu. Dan kebetulan kedua hal itu punya titik temu. Itu saja." (hal. 156)

Sesederhana itu pelaku melakukan perundungan hanya karena kebetulan ketemu titik temu. Semacam iseng yang akhirnya dinikmati dan berkelanjutan. Dan lantas si korban akan mulai mencari pembenaran kekurangan dia kenapa jadi korban dan meratapi tanpa melakukan apa pun.

Huh... menulis ulasan ini pun berat karena membahas perundungan.

Penulis mencoba menyajikan tema yang sensitif dan ada di sekitar kita, dan itu berhasil. Kisah di novel ini tidak manis tapi patut dibaca agar kita paham ada dinamika apa sih dalam kasus perundungan. Puncak ceritanya bikin saya pengen tepuk tangan. Adegan epik yang dilakukan Kojima bener-bener di luar nalar. Dan sayangnya si aku tidak melakukan apa pun. Huft!

Membaca novel ini pun agak tersendat-sendat karena memang pembahasannya yang berat. Jadi sabar saja membacanya sambil menikmati sensasi yang timbul. 

Sampul novel ini simple banget. Ada gambar pesawat kertas untuk menunjukkan surat menyurat. Ada gambar mata juling juga sesuai tanda yang dipunyai tokoh utamanya. Lalu, pemilihan judul Heaven ini sebenarnya menunjuk ke sebuah lukisan di museum seni rupa, yang sayangnya tidak sempat dilihat oleh si aku sewaktu di sana.

Kesimpulannya, novel ini agak menguras emosi namun patut dibaca jika ingin tahu soal isi pikiran pelaku dan korban perundungan. Namun, saya kayaknya enggak akan baca ulang sebab agak mengusik hati ceritanya, haha.

Nah, sekian ulasan saya kali ini, terakhir, jaga kesehatan dan jangan lupa membaca buku!



8 komentar:

  1. Kayak gini nih sering terjadi di lingkungan kita, bahkan kita sendiripun mungkin pernah mengalaminya,tapi ada beberapa orang yg memilih untuk mendiamkan saja, entah karena takut atau cuek, tapi kalau di biarkan aja lama-lama ya si pelaku bakalan ngelunjak karena dia merasa gak ada yang berani melawan,...apalagi kadang julukan atau panggilan yang merujuk pada tampilan fisik sering banget terjadi di manapun, udah itu di tambah perlakuan gak mengenakkan sering banget di terima oleh pelaku terhadap korban, dan si korban gak berani ngelawan, makin ngelunjak kan pelakunya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak, gemes banget sama pelakunya. Makanya saya kadang mikir kalo jadi korban mending sekalian nekat membalas, biar semua lihat dan tahu kalau jadi korban itu punya batas. Kalau nanti saat membalas dan harus mati, biar pelaku dan orang terdekatnya terekspos kalau dia adalah pelaku bully

      Hapus
  2. Eh aku lagi baca versi inggrisnya, tapi belum kelar. Di jepang emang bullying banyak terjadi di sekolah2 ya. Sayangnya dari pihak guru sekolah juga ga bisa bantu banyak buat ngatasinnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padahal lingkungan perlu berempati, karena kalau bukan lingkungan sekitar, siapa yang bisa menolong. Bukan apa-apa, takutnya kecolongan, korban bisa sampai bunuh diri, dan si pelaku tidak merasa jadi penyebabnya.

      Hapus
  3. Aku belum baca bukunya, jadi tidak bisa komentar banyak.

    Tapi soal perundungan aku setuju, korban harus melawan, jangan mau terus menerus di-bully.

    Peran orang tua juga penting. Makanya aku bilang sama anakku yang sekolah, kalo ada yang nakalin bilang sama bapak. Alhamdulillah katanya dia aman saja sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Miris banget ya kalau anak atau saudara kita jadi korban bully dan enggak ada yang tahu. Begitu kasusnya mencuat, malah sudah dititik paling parah. Saya pasti akan ketrigger buat balas dendam. Pokoknya, bully itu harus dilawan.

      Hapus
  4. Gemes banget ya baca aksi perundungan di buku ini, dan ditambah korban seperti tidak berbuat apa-apa. Tapi novel Jepang ga tau kenapa sering begini ya, seolah hanya menyampaikan potongan kehidupan seseorang tanpa harus ada resolusi konflik, seolah ya memang seperti itu realita yang ada. Bisa dipahami juga jawaban si perundung, bahwa perundungan tetap ada karerna korban membiarkan dirinya dirundung. Hanya agak kaget ternyata di negara sekelas Jepang ada aksi seperti ini, lalu setelah dicek ternyata emang setting masih tahun 1999. Mungkin kala itu banyak yg belum menyadari besarnya efek perundungan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kadang saya suka gemas juga kepada korban yang tidak meminta tolong kepada orang lain untuk mengatasinya. Tapi memang jika berada di posisi korban, pasti ada beberapa pertimbangan juga.

      Bisa jadi memang pada tahun segitu belum melek dengan efeknya. Beda dengan sekarang, media sosial bisa jadi penyebaran yang efektif untuk membongkar tindakan perundungan. Sehingga banyak orang juga yang mulai peduli dengan efeknya.

      Hapus