[Resensi] Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam - Dian Purnomo

gambar diunduh dari gramedia.com, diedit

Judul: Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam

Penulis: Dian Purnomo

Editor: Ruth Priscilia Angelina

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: November 2020

Tebal: 320 hlm.

ISBN: 9786020648453

***

Magi Diela diculik dan dijinakkan seperti binatang. Sirna sudah impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orangtua, seisi kampung, dan adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, dia harus memilih sendiri nerakanya: meninggalkan orangtua dan tanah kelahirannya, menyerahkan diri kepada si mata keranjang, atau mencurangi kematiannya sendiri.

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam ditulis berdasarkan pengalaman banyak perempuan korban kawin tangkap di Sumba. Tradisi kawin tangkap menggedor hati Dian Purnomo untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar bahkan oleh Tuhan sekalipun.

***

Cerita dimulai dengan menghilangnya Magi Diela, perempuan muda yang bekerja sebagai honorer di kecamatan dan lulusan sebuah kampus di Yogyakarta. Kemudian terdengarlah kabar jika Magi ditangkap oleh Leba Ali, pria setengah baya yang sudah beristri dan dikenal mata keranjang, sebagai perempuan yang mengikuti adat Yappa Mawine atau kawin tangkap. Dangu Toda, pemuda sekaligus teman masa kecil Magi, marah besar ketika hal tersebut terjadi. Sebab tidak pernah dia dengar ada pembicaraan dan perjanjian soal lamaran antara Magi dan Leba Ali. Karena sebelum Yappa Mawine dilakukan, antara pihak laki-laki harus sudah ada kesepakatan dengan keluarga perempuan mengenai lamaran yang berujung pada jumlah belis atau mahar.

Malam itu juga Magi yang tidak sadarkan diri ditaklukan oleh Leba Ali dengan melakukan pemerkosaan sehingga pada umumnya korban kawin tangkap akan menurut dengan proses selanjutnya karena merasa dirinya sudah tidak perawan untuk menolak. Jika sampai menolak adat ini, akan jadi aib bagi keluarga perempuan. Dan Magi yang bersikeras menolak adat kawin tangkap ini akhirnya  menggigit pergelangan tangan hingga dia harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah kondisinya lebih baik, Magi nekat meninggalkan kampung halaman demi menghindari kawin tangkap dan kawin paksa yang dilakukan atas kesepakatan ayahnya dan Leba Ali.

Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam merupakan novel drama yang memiliki nilai lokal yang begitu sarat. Dengan membawa latar Pulau Sumba, penulis menceritakan salah satu adat  yang cukup meresahkan karena bertentangan dengan hak-hak perempuan. Yappa Mawine atau kawin tangkap yaitu proses menangkap perempuan oleh pihak laki-laki, dibawa ke rumahnya dan dikawinkan. Pada proses ini yang lebih menyedihkan adalah si perempuan akan ditaklukan dengan cara diperkosa sehingga dia tidak punya pilihan selain meneruskan proses perkawinan selanjutnya. 

Penulis menyoroti dua hal dalam novel ini yang memang perlu perhatian khusus menimbang ini akan membenturkan antara hukum negara dengan hukum adat. Pertama, mengenai kawin tangkap yang menjadi simbol adat yang mengekang perempuan atas pilihan hidupnya. Adat ini membunuh perempuan untuk menjadi dirinya sendiri dan untuk menentukan masa depannya. Perempuan hanya menjadi objek untuk keputusan yang diambil oleh laki-laki tanpa bisa menolak. Posisi Magi dalam kawin tangkap ini tidak bisa menggugat kepada Leba Ali dan ayahnya karena proses ini rupanya sudah didahului oleh kesepakatan mereka. Magi berada pada posisi tidak berdaya.

Magi yang melarikan diri bukan semata-mata lari, tapi dia barengi dengan belajar lebih banyak mengenai kebebasan dan hak-hak perempuan untuk menentukan hidupnya. Kesimpulannya adalah perempuan harus berwawasan luas, harus berdaya dan harus mandiri sehingga dia bisa berkuasa atas dirinya sendiri. 

Kedua, mengenai kejahatan seksual yang dianggap biasa dengan alasan bagian dari adat. Pemerkosaan Magi sebagai bentuk penaklukan laki-laki terhadap perempuan menjadi simbol jika perempuan tidak cukup berharga dan bisa diperlakukan dengan semana-mena. Dan mirisnya, bahkan penegak hukum tidak bisa berkutik jika kasusnya dibenturkan dengan hukum adat. 

Ironisnya, lagi-lagi dalam proses mencari keadilan Magi harus berhadapan dengan penegak hukum yang berkoalisi dengan pelaku sehingga hukum tidak bisa menjeratnya. Uang berkuasa sepenuhnya untuk menghentikan proses hukum yang dicari Magi. Sehingga keberadaan LSM bisa membantu kasus yang susah diteruskan karena terhalang uang suap. Hanya saja saat ini tidak semua LSM memiliki visi dan misi membantu masyarakat. Banyak juga LSM yang nakal, tidak membantu tapi minta dibayar.

Membaca novel yang membahas mengenai adat budaya dari suatu suku selalu menyenangkan karena saya belajar sisi lain dari wajah Indonesia. Dan saya merasa takjub dengan keberadaan adat yang begitu mengikat warga sukunya sehingga adat dianggap segalanya dibandingkan hukum negara. Tapi menurut saya masih lebih banyak adat yang bersifat baik, dalam artian tidak bertentangan dengan HAM, hukum negara, atau pun hukum agama. Sebelumnya saya juga begitu memuji novel yang kategori ini: Pertanyaan Kepada Kenangan karya Faisal Oddang, Satu Kisah yang Tak Terucap karya Guntur Alam, dan Sekaca Cempaka karya Nailiya Nikmah JKF.

Sedangkan untuk sisi kritik sosial yang dibawa penulis mengingatkan saya dengan novel karya Okky Madasari. Dan saya rasa novel dengan kritik sosial akan sangat berguna untuk menyuarakan pendapat, atau minimalnya novel ini dapat menjadi rekaman jika pada satu masa pernah ada kejadian sosial tertentu yang pantas dikritik.

Gaya bercerita penulis mudah dipahami dan diikuti. Ceritanya runut walaupun ada narasi yang menceritakan masa lalu. Bagi saya justru yang butuh adaptasi adalah penggunaan bahasa daerah yang lumayan membingungkan. Sebab pada novel ini lumayan banyak kalimat yang menggunakan bahasa daerahnya.

Yang membuat novel ini hidup berkat karakter Magi Diela yang digambarkan sebagai sosok perempuan berpendidikan yang kuat melawan adat demi mendapatkan haknya sebagai perempuan. Dia juga cerdas menghadapi konfliknya walau untuk melaksanakan rencananya butuh pengorbanan yang besar. Kurangnya di novel ini tidak diceritakan detail bagaimana Magi belajar soal LSM dan ilmu apa saja yang dia praktikan di bidang pertanian ketika dia sedang dalam pelarian. Yang paling menonjol hanya bagaimana Magi melakukan perlawanan kepada ayahnya dan kepada Leba Ali.

Karakter Leba Ali sebagai tokoh rival Magi dalam kemelut adat kawin tangkap. Dia hanya digambarkan sebagai pria paruh baya yang mengedepankan nafsu, ringan tangan, dan terlibat kongkalikong dengan pejabat daerah. Sedangkan Dangu Toda dijelaskan sebagai pemuda teman masa kecil Magi yang memiliki pikiran lebih luas karena dia belajar banyak dari wisatawan yang datang ke Pulau Sumba. Dangu dijadikan pahlawan dalam kasus Magi, sekaligus simbol roman yang harus terhalang adat.

Usai membaca novel ini membuat saya merasa lebih paham kenapa perlu sekali memperlakukan perempuan dengan hormat. Mereka juga manusia yang memiliki hak-hak yang sama dengan pria. Selain itu novel ini juga menekankan untuk kita agar lebih banyak belajar sebab di lapangan terlalu banyak problematika yang hanya bisa diselesaikan jika kita paham. Pada akhirnya benar kata Dangu, adat itu buatan manusia, ada yang bisa diteruskan tapi banyak juga yang bisa ditinggalkan.

Untuk novel yang bikin meringis dan penuh emosi ini saya memberikan nilai 4 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



2 komentar:

  1. Hukum adat emang harusnya disesuaikan dengan perkembangan zaman ya. Kalo sekarang, kawin model begitu ya bisa dimarahin sama aktivis HAM.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, tidak semua adat bisa dipraktikkan saat ini. Termasuk kawin tangkap, ini menjadi kasus besar karena nilai-nilai adatnya sangat bertentangan dengan aturan negara dan agama.

      Hapus