Oktober 18, 2021

[Resensi] Basirah - Yetti A. KA



Judul: Basirah

Penulis: Yetti A. KA

Penyunting: Misni Parjiati

Penerbit: DIVA Press

Terbit: Oktober 2018

Tebal: 184 hlm.

ISBN: 9786023916252

***

Langit berwarna pekat. Seorang perempuan orang tua tunggal membaca pertanda alam lewat kartu tarot. Seekor anjing raksasa mati dibunuh dengan cara mengenaskan. Seorang perempuan tua yang lebih suka bercakap-cakap dengan arwah anak dan suaminya. Anak gadis berjiwa dewasa terperangkap dalam kekeliruan.

Di Kota Basirah ini semua hal tidak masuk akal bisa terjadi. Mungkin, sesuai arti namanya, kota ini menunjukkan inti perasaan terdalam penghuninya, yang tak selalu seputih kapas, tapi juga sehitam malam.

***

Awalnya saya kira Basirah itu nama tokoh tapi ternyata bukan, itu nama kota kecil, pada novel ini seperti terletak di Pulau Sumatra. Basirah memiliki arti inti perasaan terdalam. Entah apa relevansinya dengan situasi kota tersebut yang sepi, jauh dari kota ramai, dan tidak banyak penduduk tampaknya. Disebutkan oleh penulis kota ini juga didominasi oleh orang-orang yang religius.

Novel Basirah ini menceritakan kehidupan anak perempuan berusia delapan tahun bernama Imi. Dia tinggal bersama Mamanya yang berprofesi sebagai pembaca kartu tarot. Imi selalu dibilang anak aneh dan istimewa. Dia senang berkhayal dan berbicara dengan hatinya sendiri.

Imi kecil begitu polos. Dia berteman dengan Nenek Wu, salah satu tetangga rumahnya, yang tinggal sendirian. Tapi Imi percaya kalau Nenek Wu tidak kesepian sebab dia ditemani hantu suami dan anaknya yang sudah meninggal karena kebakaran.

Imi juga begitu sayang kepada Paman Pohon, yang kata Mama, Paman Pohon adalah penolong. Meski Imi tidak punya saudara (paman, bibi, kakek, nenek, adik, atau kakak), dia bersyukur punya Paman Pohon yang menyenangkan.

Alur cerita dimulai ketika suatu pagi Imi dan Mama menemukan anjing raksasa peliharaan mereka 'Bolok', mati dengan luka di leher dan salah satu kupingnya dipotong. Untuk sementara waktu mereka mengabaikan pertanyaan siapa pelakunya, dan justru mengutamakan untuk membuang bangkai anjing itu ke lokasi dimana anjing tersebut ditemukan dulu.

Lalu emosi Mama kerap naik-turun jika sedang ada masalah. Beliau terganggu dengan kabar jika Paman Pohon berpacaran dan akan menikah dengan Tante Miri. Rasa cemburu membuat Mama menarik diri dari siapa pun, kecuali dengan Imi.

Puncak konflik terjadi ketika Imi menghilang. Mama dan yang lainnya mencari tapi tidak ketemu. Pada rentang waktu itu, Nenek Wu meninggal dibakar di rumahnya karena masyarakat menganggap Nenek Wu penyihir dan sudah menculik anak-anak.



Novel ini diceritakan melalui sudut pandang Imi dan Nenek Wu. Dominasi penggunaan narasinya dengan format kalimat tidak langsung dan saya harus benar-benar fokus untuk bisa memahami siapa yang sedang bercerita. Sebelumnya saya tidak pernah menemukan novel dengan format ini dan membaca novel Basirah ini menjadi pengalaman menarik bagi saya.

Secara garis besar, novel ini hanya menceritakan kehidupan Imi sebagai tokoh utama. Mama, Paman Pohon, Bolok, dan Nenek Wu, berfungsi sebagai penunjang cerita saja. Alur cerita besarnya sebenarnya sedikit. Justru penulis lebih banyak menggali latar belakang beberapa tokoh sehingga pembaca bisa mengenal lebih dalam.

Misalnya, latar belakang Mama yang memilih tinggal di kota Basirah dan mempunyai anak tapi tanpa ada suami. Ataupun mengenai latar belakang Nenek Wu yang kelam, yang membuat dia enggan bersuara dan memilih tinggal sendiri di gubuknya.

Novel Basirah ini membahas isu-isu penting yang ada di masyarakat. Pertama, isu seksual yang kental dibahas pada bagian yang menjelaskan bagaimana pertemuan Mama dan Papa pada sebuah bar di Jakarta hingga Imi terbentuk. Papa Imi saat itu adalah sosok suami dan sudah memiliki tiga anak. Bagian lainnya ketika menjelaskan masa lalu Nenek Wu yang diperkosa beramai-ramai hingga dia mempunyai anak. Nenek Wu kemudian pindah ke Batavia dan menjadi perempuan penghibur.

Kedua, perdagangan anak yang dialami Imi setelah dia diculik. Bagian ini akan kita temukan di penghujung novel sebagai jawaban pertanyaan kemana Imi menghilang dan siapa pelakunya. Di akhir novel pembaca akan disodorkan sosok Imi dewasa, yang lebih bijaksana menerima takdir hidup yang menimpanya.

Ketiga, tentang mendidik anak, yang lumayan berat dilakukan oleh orang tua. Bagian ini lebih banyak dibahas dari sudut pandang Imi yang melihat orang dewasa di sekitarnya. Dia punya penjelasan, penilaian, dan kesimpulan atas apa yang dia lihat dan dengar dari orang dewasa dalam versi anak-anak. Sehingga novel ini bagus dibaca oleh pembaca dewasa untuk memahami jalan pikiran anak-anak yang kadang berseberangan dengan pikiran orang dewasa.

Kesan saya setelah membaca novel ini justru melelahkan. Alasannya karena penggunaan kalimat tidak langsung membuat pembaca butuh ekstra perhatian untuk memahami narasinya. Ditambah setiap paragrafnya lumayan panjang-panjang. Selain itu, novel ini terbilang 'unik yang berat' karena dua hal. Satu, penggambaran situasi Kota Basirah yang sepi dan menyeramkan. Lumayan susah dibayangkan karakter kotanya. Dua, tokoh-tokoh yang menonjol punya keunikan yang tidak umum. Mama berprofesi pembaca kartu tarot, Imi yang pikirannya liar tidak sesuai umurnya, Paman Pohon yang penolong tapi tidak jelas gambaran besar kehidupannya, Nenek Wu yang memilih menjadi pendiam dan punya ciri seperti nenek sihir, dan Bolok, anjing peliharaan yang berbadan besar yang setelah kematiannya suka muncul di benak Imi sebagai hantu.

Terlepas dari label cerita 'unik yang berat', novel ini justru mengandung banyak sindiran yang dilontarkan Imi kepada orang-orang dewasa. Imi seperti membolak-balikkan semua pikiran orang dewasa yang bisa berubah-ubah kapan pun mengikuti keadaan. Tentunya dalam bahasa anak-anak. Dan secara keseluruhan saya memberi nilai 2 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Oktober 17, 2021

[Buku] Animal Farm - George Orwell



Judul: Animal Farm

Penulis: George Orwell

Penerjemah: Prof. Bakdi Soemanto

Penyunting: Ika Yuliana Kurniasih

Penerbit: Penerbit Bentang

Terbit: Juni 2021, cetakan ke-12

Tebal: iv + 144 hlm.

ISBN: 9786022912828

***

Suatu malam, Major, si babi tua yang bijaksana, mengumpulkan para binatang di peternakan untuk bercerita tentang mimpinya. Setelah sekian lama hidup di bawah tirani manusia, Major mendapat visi bahwa kelak sebuah pemberontakan akan dilakukan bintang terhadap manusia; menciptakan sebuah dunia di mana binatang akan berkuasa atas dirinya sendiri.

Tak lama, pemberontakan benar-benar terjadi. Kekuasaan manusia digulingkan di bawah pimpinan dua babi cerdas: Snowball dan Napoleon. Namun, kekuasaan ternyata sungguh memabukkan. Demokrasi yang digaungkan perlahan berbelok kembali menjadi tiran di mana pemimpin harus selalu benar. Dualisme kepemimpinan tak bisa dibiarkan. Salah satu harus disingkirkan... walau harus dengan kekerasan.

Animal Farm merupakan novel alegori politik yang ditulis Orwell pada masa Perang Dunia II sebagai satire atas totaliterisme Uni Soviet. Dianugerahi Retro Hugo Award (1996) untuk novela terbaik dan Prometheus Hall of Fame Award (2011), Animal Farm menjadi mahakarya Orwell yang melejitkan namanya.

***

Pada satu hari terjadi pemberontakan hewan-hewan di Peternakan Manor milik Pak Jones yang dipimpin oleh tiga babi; Snowball, Napoleon, dan Sequreal. Pemberontakan ini merupakan bentuk memerdekakan hewan dari perbudakan manusia. Sebab susu yang dihasilkan sapi, telur yang dihasilkan ayam, bahkan anak babi yang dilahirkan, punya takdir untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa memberi perubahan pada nasib hewan.

Peternakan Manor berubah menjadi Peternakan Hewan. Tujuh Perintah ditulis untuk menjadi panduan hewan. Lagu ‘Binatang Inggris’ menjadi lagu kebangsaan di peternakan itu. Perubahan besar-besaran dilakukan. Tetapi seperti sebuah negara, terjadi perang konflik antara hewan yang satu dengan yang lain. Ada kudeta kekuasaan, ada korupsi, ada fitnah, bahkan ada eksekusi bagi yang dituduh pengkhianat.

Membaca novela Animal Farm ini seperti sedang mempelajari keburukan pejabat pemerintah. Hewan-hewan mewakili mereka. Major (babi) menjadi perintis kemerdekaan yang tidak bisa menikmati kemerdekaan tersebut. Snowball (babi) menjadi contoh sekutu yang dikhianati. Napoleon (babi) menjadi contoh si pengkudeta dengan banyak akal. Squealer (babi) menjadi contoh juru bicara yang fasih mengarang skenario. Boxer (kuda) menjadi contoh masyarakat polos yang bekerja keras untuk pemimpinnya. Muriel (kambing) menjadi contoh masyarakat yang paham situasi tapi enggan mengubah. Moses (gagak) menjadi contoh jurnalis yang independen.

Kejahatan di Peternakan Binatang juga seperti kejahatan di sebuah negara. Kudeta kekuasaan, monopoli sumber daya, penyebaran hoax, intimidasi, pembunuhan, penyalahgunaan jabatan, bahkan hukum rimba berlaku dengan jelas, yang kuat akan menang, yang lemah akan tersingkir.

Meski novela ini menggunakan tokoh-tokoh hewan, tapi kemasannya bukan fabel yang biasa ditujukan untuk pembaca anak-anak. Novela ini mempunyai tema politik kekuasaan dan alur cerita yang kelam. Penulis seolah ingin menunjukkan semengerikan itu orang-orang yang bergumul di kekuasaan dan jabatan.

Kalau di dunia manusia kita mengenal istilah ‘nilai kemanusiaan’, lalu karena ini tokoh-tokohnya hewan, ijinkan saya menyebut ‘nilai kehewanan’ yang boleh disamakan maknanya dengan nilai kemanusiaan. Sebab hewan-hewan yang ‘mengejar’ kekuasaan dan jabatan akan kehilangan nilai itu. Sama seperti manusia. Segala cara dihalalkan, tidak memandang kawan, dan empati mati. Yang ada di benak mereka adalah kepentingan pribadi terpenuhi.



Setelah tuntas membaca, saya bertanya-tanya, “Apa yang dirasakan oleh mereka-mereka yang sekarang duduk di kursi pemerintahan dengan jabatan-jabatan hebat ya? Benar memikirkan rakyat atau justru semata mencari nikmat sesaat?” Cerita di novela ini relevan dengan situasi politik negeri ini yang diisi oleh orang-orang yang beragam punya visi.

Saya akhirnya bisa memahami alasan novela klasik ini bisa bertahan eksistensinya sampai saat ini. Karena tema dan alur cerita di dalam novela ini akan terus relate dengan siapa pun (pembaca) selama struktural negeri masih ada.

Saya bersyukur bisa menyelesaikan novela ini setelah mandek berkali-kali karena waktu itu saya membacanya via ebook. Kesan yang didapat setelah membaca novela ini berupa kejelasan mengenal karakter dan situasi pejabat-pejabat negeri, dan konflik-konflik yang muncul di sekitar mereka. Saya memberikan nilai 3 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya, terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku!



Oktober 15, 2021

[Resensi] Genduk - Sundari Mardjuki



Judul: Genduk

Penulis: Sunardi Mardjuki

Editor: Lana Puspitasari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Terbit: November 2017

Tebal: 232 hlm

ISBN: 9786020332192

***

Genduk adalah sebuah fiksi yang diceritakan dengan gaya memoar. Berkisah tentang seorang bocah perempuan berumur sebelas tahun, yang tinggal di desa paling puncak Gunung Sindoro, Temanggung. Setting dibuat pada tahun 1970-an ketika petani tembakau sudah mulai mengolah tembakau yang  masuk kualitas atas di dunia ini untuk dipasok ke pabrik-pabrik rokok.

 Geduk melakukan pencarian jati diri dan pencarian atas sosok ayah yang tidak pernah dilihatnya seumur hidup. Konflik terjadi ketika Genduk menemukan kenyataan mengenai ayahnya yang selama ini dirindukannya. Konflik pun bergulir terkait dengan permasalahan yang dialami oleh para petani.

***

Kesan yang muncul setelah saya menyelesaikan membaca novel Genduk ini muncul perasaan hangat di hati. Gambaran hidup sederhana khas desa begitu melekat di benak. Novel ini menjadi perantara saya menikmati nostalgia kehidupan di desa yang belum dijajah kecanggihan teknologi. 

Dulu, sewaktu saya kecil, desa saya pun belum begitu tersentuh teknologi. Yang punya televisi masih sedikit. Tapi di rumah saya ada radio yang setiap habis mengumandangkan adzan maghrib akan disusul acara kosidahan. Kesederhanaan ini yang membuat masa kecil saya penuh kenangan permainan fisik, misal petak umpet, sodoran, bon-bonan, bahkan petualangan main ke ladang. Dan jika dibandingkan dengan anak kecil sekarang, mereka kekurangan pengalaman permainan atau bertualang ke alam.

Novel Genduk menceritakan kehidupan petani tembakau di Desa Ringinsari yang terletak di lereng Gunung Sindoro. Lewat sudut pandang sosok anak perempuan berusia 11 tahun bernama Genduk, pembaca diajak menyelami keluarganya yang terdiri dari dia dan Biyungnya (Ibu). Hidup kekurangan menjadi kesedihan terselubung bagi keduanya. Karena ekonomi keluarga bergantung pada hasil panen tembakau yang kadang harganya justru dimainkan oleh tengkulak atau gaok.

Genduk atau yang bernama aslinya Anisa Nooraini merindukan ayahnya yang menurut cerita Kaji Bawon meninggalkan desa sejak ia bayi. Dan pada satu titik keputusasaan pada keadaan dan Biyungnya, Genduk minggat untuk mencari keberadaan ayahnya di Kota Parakan. Fakta pahit sekaligus jawaban atas pertanyaan dia dan Biyungnya, yang dia dapatkan justru membawa babak baru. Kehidupan Genduk dan Biyung bukan melulu soal kemiskinan, tapi ada drama-drama dari orang sekitarnya yang membuat novel ini menarik diikuti.

Cerita drama hidup orang desa begitu terasa di novel ini, mengingat latar juga di tahun 70-an. Konflik yang muncul pun berkutat dari kehidupan petani tembakau, keluarga, dan sedikit menyinggung sejarah politik negeri pada masa itu yang terkenal soal PKI.



Isu-isu sensitif dibahas secara tipis-tipis oleh penulis, tampaknya karena sudut pandang yang dipakai penulis adalah tokoh anak-anak. Sehingga isu tersebut disesuaikan agar pas sesuai pengetahuan anak-anak.

Isu pertama yang muncul mengenai pelecehan seksual pada anak perempuan di bawah umur. Pelakunya tidak jauh-jauh dari orang yang dikenal korban. Saya kira kasus pelecehan ini sebenarnya jumlahnya banyak tapi karena pada saat itu belum ada ponsel pintar dan media sosial maka kasus tersebut tidak diketahui. Atau karena korban memilih diam karena akan jadi aib sekaligus korban biasanya dibayang-bayangi ancaman si pelaku.

Ini juga dialami Genduk, sampai si pelaku mati, Genduk tidak menceritakan kejadian itu kepada siapa pun. Sehingga rahasia pelecehan seksual itu terkubur bersama jasad si pelaku. Padahal apa yang dialami Genduk menjadi trauma mendalam. Kehidupan sekolahnya menurun, menjadi ketakutan setiap kali melihat si pelaku, dan pada saat si pelaku diketahui mati, Genduk justru bereaksi tertawa terbahak-bahak dan menangis seperti kesurupan. Dia sampai ditampar oleh Biyungnya agar sadar.

Isu agama yang ditentang oleh masyarakat yang percaya pada kebudayaan klenik juga dibahas. Bapaknya Genduk digambarkan sebagai pemuda yang sedang giat-giatnya mendalami agama islam dari berbagai pesantren. Sehingga kehadirannya tidak diterima oleh beberapa kalangan, misalnya oleh kakek Genduk, Dulmukti, yang sudah hidup berdampingan dengan kebudayaan lawas itu.

Isu kecurangan perdagangan begitu jelas pada masa itu. Gaok dan tengkulak berbuat curang memutuskan harga tembakau. Padahal harga yang diterima mereka dari juragan berbeda dengan harga yang disampaikan ke petani. Banyak sekali yang dirugikan oleh praktik ini, bahkan bisa menjadi pemicu bunuh diri bagi petani. Beban kerugian ini menjadi beban besar sebab modal mereka bertani pun sumbernya dari hutang rentenir.



Poin yang membuat hangat di hati adalah perubahan sikap Biyung kepada Genduk ketika keadaan sudah lebih baik. Karena faktor lelah dan beban hidup, Biyung tidak pernah tertarik dengan cerita prestasi Genduk di sekolah. Tanggapan Biyungnya datar. Ini juga saya alami ketika zaman sekolah dulu, Ibu dan Bapak tidak pernah ikut senang ketika lapor saya dapat rangking. Bahkan ketika saya ikut olimpiade matematika pun, mereka tidak memberikan support moral. Saya tidak kesal karena paham kalau mereka sudah cukup lelah dengan urusan ladang. Tapi efek panjang dari keadaan itu membuat hubungan anak dan orang tua tidak menyenangkan dan terbuka. 

Novel Genduk ini menarik dibaca karena ceritanya yang membawa nostalgia dan imajinasi pembaca ke masa dimana desa masih begitu asri. Juga karena drama hidup yang dinamis sehingga membuat kita penasaran dengan perjalanan hidup Genduk di ujungnya. Novel ini saya beri nilai 4 bintang dari 5 bintang.

Sekian ulasan dari saya. Terakhir, jangan lupa jaga kesehatan dan terus membaca buku!


Oktober 14, 2021

[Resensi] Perempuan Suamiku - Intan Savitri



Judul: Perempuan Suamiku

Penulis: Intan Savitri

Penyunting: Mursyidah

Penerbit: Noura Publishing

Terbit: September 2017, cetakan pertama

Tebal: xii + 244 hlm.

ISBN: 9786023853410

***

Aku menangis, sebab aku begitu ingin menemui lelaki yang menyimpan tatapan matanya di surga. Sebab aku begitu lelah dengan mata lelaki yang meneliti setiap pori pada kulitku. Sebab aku begitu jenuh dengan tubuhku yang menyimpan magnet sehingga mata-mata itu lekat padanya.

Adakah? Lelaki surga yang menyimpan tatapan matanya? Menukarnya dengan cinta sebab aku seorang mukminah, sebab aku seorang salihah? Dan, bukan karena wajah serta tubuhku yang membuatnya terpikat?

***

Buku ini berisi 24 cerita pendek. Tema yang mendominasi mengenai dinamika persoalan rumah tangga. Ada dua ciri khas dari cerpen-cerpen di buku ini. Pertama, penulis membawa satu poin masalah yang ia jabarkan dalam satu judul, sehingga cerpen yang muncul terbilang pendek. Kedua, cerita pendek yang dibuat dibalut nilai-nilai islami dan ini terasa sekali.

Perempuan Suamiku merupakan salah satu judul cerita pendek di dalamnya. Ini menceritakan mengenai seorang istri yang ditinggal mati suaminya. Belum juga meninggalkan makam, si istri mendapat pengakuan dari seorang perempuan peziarah yang mengaku istri dari mendiang suaminya. Hatinya kacau dan penuh tanda tanya. Namun kesimpulan sekaligus pesannya, ketika si istri tidak bisa memenuhi kebutuhan suaminya, bukan tidak mungkin si suami mencari kebutuhan tersebut di sosok yang lain. Dalam cerita ini, alasan kenapa suaminya menikah diam-diam dan memilih perempuan tersebut masih di koridor yang mewajarkan menurut syariat islam.

Lalu, blurb pada halaman belakang merupakan penggalan dari cerita pendek lainnya yang berjudul Laki-Laki Surga. Tentang perempuan dewasa yang cantik, yang merasa risih dengan kecantikannya karena dia sering menjadi bahan tatapan laki-laki lain. Ketika usia dewasanya menuntut untuk menikah, dia ingin mendapatkan laki-laki yang melihatnya bukan karena cantik. Sampai pada akhirnya dia benar-benar menemukan laki-laki yang menjaga matanya untuk di surga. Ini kiasan saja, untuk paham yang dimaksud 'menjaga mata', saya sarankan kalian membaca langsung buku ini.

Emosi dan perasaan yang disampaikan oleh penulis dalam cerita pendeknya memiliki ragam. Ada perasaan lucu menggemaskan, ada perasaan nelangsa, ada juga perasaan membahagiakan. Ini menyiratkan jika dinamika rumah tangga selalu naik dan turun. berpotensi besar akan bisa mempererat rumah tangga, bisa pula menghancurkan rumah tangga. Dan nilai islam ini yang kemudian menjadi modal utama untuk membuat rumah tangga tetap di jalan yang benar sesuai syariat.



Menurut saya kekurangan buku ini ada tiga. Pertama, buku ini terlalu memuat banyak cerita. Efek satu poin atau masalah dalam satu cerita membuat ceritanya jadi pendek dan jadi banyak. Saya merasa kekenyangan ketika membaca bukunya. Apalagi menjelang cerita ke 12 dan selanjutnya, minat saya menurun.

Kedua, meski dibuat dalam POV yang beragam, saya merasa gaya bercerita penulis tidak berubah dari semua ceritanya. Baik dari narasi maupun pemilihan diksi. Sehingga cerita-ceritanya memiliki rasa yang sama. Ini juga membuat saya merasa sedikit bosan dari paruh keduanya.

Ketiga, pesan yang disampaikan penulis lebih banyak langsung ke poinnya sehingga pembaca merasa digurui. Penulis tidak bermain dengan alur cerita pendeknya sehingga pembaca merasa dikasih cerita dengan intonasi yang datar dan pesan yang lugas.

Secara keseluruhan, membaca buku ini memberikan saya pandangan baru mengenai dinamika dalam rumah tangga. Ada wawasan yang bertambah mengenai nilai islam juga. Jadi saya memberikan nilai 2 bintang dari 5 bintang.

Terakhir dari saya, jangan lupa jaga kesehatan dan terus membaca buku!

Oktober 11, 2021

[Resensi] Let It Be love - Vilda Sintadela


Judul: Let It Be Love

Penulis: Vilda Sintadela

Editor: Mita M. Supardi & Tesara Rafiantika

Penerbit: GagasMedia

Terbit: November 2015, cetakan pertama

Tebal: viii + 260 hlm.

ISBN: 9797808467

***

Ariana, seorang desainer furniture yang selalu mengandalkan dirinya sendiri atas nama kemandirian, telah lama bersembunyi dari cinta. Meski diam-diam, ia berharap, suatu hari, seseorang akan menyelamatkannya dari rasa kesepian. Mempertemukannya dengan cinta yang nyata.

Ahda, seorang seniman rupa yang tak pernah menganggap cinta benar-benar ada. Tak banyak celah dalam hatinya untuk diselusupi rasa. Meski ada kalanya logika dan hatinya seakan tak sejalan, mencoba membuka ruang untuk rasa yang tak sepenuhnya ia percayai.

Keduanya bertemu. Namun, cinta tak ubahnya sebuah seni yang mereka geluti. Yang terkadang tampak rumit, sekaligus menantang. Yang memerlukan kesabaran untuk memahami dan menyelesaikannya. Sementara, Ariana dan Ahda adalah dua orang yang telah lama tak terlalu berharap banyak pada cinta.

Lalu, akankah cinta selalu punya cara mempertemukan meski mereka berlari menjauhinya?

***

Di twitter saya sempat mengatakan kalo saya kayaknya perlu membaca buku yang ringan-ringan saja karena sedang banyak pikiran. Dan setelah menyelesaikan membaca novel Traveline Past karya Luna Torashyngu, saya melanjutkan membaca novel Let It Be Love ini.

Pilihan saya tepat. Novel ini ringan dan menghangatkan hati selama proses membacanya. Saya seperti sedang bernostalgia dengan ciri khas novel dari Penerbit GagasMedia yang heartwarming, lembut, menenangkan, dan tidak meledak-ledak.

Novel ini mengisahkan seorang Ariana, berusia 25 tahun, yang sibuk bekerja sebagai desain furnitur. Urusan cinta bagi dia ada di urutan bawah. Namun karena proyeknya, dia harus bekerjasama dengan sebuah bengkel. Disitulah Ariana bertemu dengan Ahda, pemuda tukang berbakat yang jarang bicara, kalo bicara langsung ke poinnya.

Hubungan keduanya berkembang seiring proyek yang dikerjakan. Ariana mengenal lebih dalam sosok Ahda, seorang seniman, yang baginya menyimpan keunikan dan perbedaan, jika dibandingkan dengan Damar, sosok lelaki yang dikenalkan Maya untuknya.

Dinamika hubungan mereka seru diikuti lantaran keduanya saling suka tapi enggan mengungkapkannya. Sehingga apa yang mereka rasakan harus menunggu jeda dan liku-liku sebelum akhirnya menemukan kesimpulan yang jelas. Perjalanan mereka inilah yang kadang membuat saya merasa tergelitik sendiri. Apalagi ketika babak muncul orang-orang ketiga yang membuat keduanya merasa cemburu.

Roman yang dibawa penulis bukan roman yang meledak-ledak atau ekspresif. Ini cocok bagi pembaca dewasa karena karakter dewasa pada tokoh-tokohnya sangat relate. Ahda tau menghadapi Ariana yang pemalu untuk mengungkapkan perasaannya. Begitu pun Ariana paham menghadapi sosok Ahda yang kaku. Yang membuat salut lagi, tokoh Damar dan Renggani diberikan karakter dewasa dalam menghadapi gebetan yang ternyata tidak bisa mereka miliki. 

Sehingga konflik-konflik yang muncul tidak membuat pembaca membenci salah satu tokoh yang ada. Justru kita akan diajak untuk mengiyakan cara-cara mereka menghadapi masalah percintaan yang bikin gemes ini. Kita akan bergumam sendiri, "Oh iya, memang begini harusnya."


Porsi latar tempat di novel ini cukup membangun untuk menunjang karakter tokoh sehingga meninggalkan kesan yang mendalam bagi pembaca. Bandung menjadi latar yang membangun karakter Ariana si pekerja keras. Bali menjadi latar yang membangun karakter Ahda si seniman yang dewasa, kaku, dan tenang. Sedangkan Paris menjadi transisi sejenak bagi Ahda untuk meyakinkan perasaannya kepada Ariana.

Simbolisasi karakter di novel ini juga mengesankan saya. Ariana digambarkan sebagai bunga teratai atau lotus. Sedangkan Ahda digambarkan sebagai petrichor, atau aroma lembab tanah seusai hujan turun. Simbolisasi ini diramu dengan apik kepada alur cerita sehingga memiliki peranan penting untuk kisah Ariana dan Ahda.

Kebudayaan Bali, ilmu desain, dan tempat wisata yang disisipkan penulis juga tidak kebanyakan. Sangat cukup menjadi wawasan baru bagi pembaca sekaligus menjadi ornamen penting dan berwarna untuk merajut kisah tokoh utama. Saya cukup menikmati pengetahuan baru yang dibawa penulis dalam novelnya ini.

Keseruan dan kehangatan yang ditularkan novel ini membuat saya berani memberikan nilai 4 bintang dari 5 bintang. Karakter Ariana dan Ahda jadi kandidat pasangan romantis karakter novel.

Terakhir, jaga kesehatan dan terus membaca buku ya!

[Resensi] Traveline Past - Luna Torashyngu


Judul: Traveline Past

Penulis: Luna Torashyngu

Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Terbit: Mei 2021

Tebal: 240 hlm.

ISBN: 9786020650562

***

Sembilan puluh enam tahun lalu, bangsa Planet Gorb menyerang Bumi dan memicu perang melawan penduduk Bumi. Aliansi militer Bumi akhirnya menemukan cara untuk mengakhiri peperangan: mengirim sebuah tim ke masa lalu menggunakan mesin waktu untuk mencegah bangsa Gorb menyerang Bumi.

Namun, beberapa saat sebelum tim tersebut pergi ke masa lalu, mereka diserang bangsa Gorb. Seluruh anggota tim tewas. Hanya Orin yang selamat. Dia prajurit berusia enam belas tahun yang sebetulnya bukan anggota tim. Orin terpaksa melanjutkan misi sendirian. Dia kembali ke tahun 2021, satu bulan sebelum Gorb menyerang, dan bertemu Yoko, pemuda sebayanya. Walau awalnya tidak percaya, Yoko akhirnya bersedia membantu Orin.

Sambil menunggu pesawat Gorb pertama tiba di Bumi, Orin bersekolah di tempat yang sama dengan Yoko. Di sekolah inilah Orin mendapat kehidupan serta teman baru, juga menghadapi masalah yang umum dihadapi remaja seusianya seperti pelajaran, persahabatan, perundungan, sampai soal asmara.

Dalam misinya mencegah perang, Orin menemukan fakta-fakta baru mengenai penyebab bangsa Gorb menyerang Bumi. Fakta-fakta yang selama ini disembunyikan pemerintah aliansi Bumi.

***

Begitu selesai di halaman terakhir, disitu tertulis kalimat, 'Bersambung ke Traveline Present', yang artinya ada buku lanjutannya. Ternyata Traveline Past adalah buku pertama dari series Traveline yang dibuat penulis. Saya pun mencari informasi buku keduanya dan tidak mendapatkan apa-apa, baik di goodreads maupun di store gramedia(dot)com. 

Mari kita nantikan saja buku keduanya!

Novel dibuka dengan adegan peperangan yang terjadi tidak lama sebelum tim aliansi militer Bumi masuk ke mesin waktu untuk mencegah perang antara bangsa manusia bumi dengan bangsa Gorb. Sayangnya sebelum berhasil masuk ke mesin waktu, mereka tewas dibantai oleh serangan bangsa Gorb. Yang selamat hanya Chlorina Foley atau Orin, adik angkat dari Kapten Akira Yamada. Dia akhirnya ditunjuk oleh Jenderal Hudson untuk pergi ke masa lalu dan membawa misi mencegah perang.

Orin tiba di tahun 2021, tepatnya sebulan sebelum pesawat Gorb menyerang bumi. Dia mendarat di rumah Yoko. Dan remaja laki-laki ini yang kemudian menjadi teman Orin sekaligus yang akan membantu Orin menyelesaikan misinya.

Menurut saya ada dua poin yang membuat novel ini menarik diikuti. Pertama, bagaimana Orin mencegah perang dengan menghadapi kehadiran pesawat pertama bangsa Gorb di Bumi. Kedua, bagaimana Orin beradaptasi di tahun 2021.

Karena genrenya teenlit, novel ini tergolong ringan, baik dari cerita maupun bahasanya. Penulis mampu meramu dengan apik latar masa depan dengan teknologi maju dibanding sekarang. Dan penulis juga berhasil membawa suasana perang di tahun 2117 seperti perang ketika tim Avengers menghadapi Thanos dan anak buahnya. Kontrasnya begitu terasa antara Orin di masa perang dengan Orin di tahun 2021.

Proses adaptasi Orin di tahun 2021 cukup lancar berkat bantuan Yoko. Padahal saya sudah bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Orin sambil menunggu munculnya pesawat pertama bangsa Gorb datang ke Bumi. Namun berkat SIVA, jam tangan terkomputerisasi dengan canggih, penyesuaian Orin masuk akal. SIVA ini sistem yang punya rekaman dari masa lalu hingga masa depan sehingga dia bisa mengkoneksikan datanya untuk banyak hal. 

Contoh andil SIVA dalam membantu penyesuaian Orin adalah dia menelusuri pemilik rumah di samping rumah Yoko yang akan dikontrakan sehingga Orin bisa tinggal disitu. SIVA juga membantu pemberkasan seolah-olah Orin adalah murid pindahan di sekolah Yoko. Yang paling keren, SIVA bisa memunculkan semua rekaman kamera dari waktu kapan pun sehingga bantuannya ini bisa mencegah tindakan perundungan yang dialami Arini, salah satu teman sekolah Orin.

Di novel ini juga disinggung sedikit romansa ala-ala remaja. Yoko yang naksir Dhea harus berhadapan dengan Bandi, pacarnya Dhea. Tapi Yoko akhirnya tahu Dhea hanya mempermainkannya. Yoko akhirnya menyadari perasaan sukanya kepada Orin namun Orin tidak bisa gegabah karena ada alasan besar yang merupakan plot twist novel ini di akhir ceritanya. Romansa ini jadi bumbu manis bagi perjalanan Orin mengemban misi utamanya.

Ada juga nilai persahabatan yang ditunjukkan penulis lewat Genta dan Yoko. Keduanya dekat dan akrab. Namun saya terusik ketika sosok Genta digambarkan sebagai remaja yang gendut. Sebab nama Genta melekat dengan sosok Genta di novel 5 cm yang dewasa, asyik, banyak tahu, dan solid bersahabat. Tapi biar berbeda sekali dengan Genta di novel itu, Genta di novel ini sangat menghibur.

Novel Traveline Past ini seru dibaca. Tidak terlalu tegang dan cukup memberikan hiburan. Bagi saya nilai novel ini adalah 3 bintang dari 5 bintang. Saya penasaran apa yang akan dibahas oleh penulis di novel keduanya, Traveline Present.

Terakhir dari saya, jaga kesehatan dan terus membaca buku!